Selasa, 01-12-2009 14:00:24
oleh: Gracia Emerentiana
Kanal: Gaya Hidup
Pada hari Minggu, 22 November 2009, Komunitas Green Map Jakarta mengadakan tur hijau dengan rute Parkir Timur Senayan-Hutan Kota Kridaloka Senayan-Museum Taman Prasati-Senayan. Tur ini merupakan rangkaian kegiatan ICE 2009 (Indonesian Community Expo) , 21-22 Nopember 2009 di parkir timur Senayan. Tur berlangsung dari pk 07.00 hingga sekitar pk 13.00.
Sebelum tur dimulai, seluruh peserta dan panitia berkumpul di Parkir Timur Senayan, yang kemudian dibagi kelompok-kelompok kecil. Ketika itu saya masuk dalam kelompok terakhir, yang mempunyai nama Kelompok Senayan, dengan pemandunya Pak Yudi. Setiap tim terdiri dari sekitar 9 peserta dan 2 orang panitia. Kelompok saya cukup unik, karena 5 di antara anggotanya adalah orang asing, dimana salah satunya jika tidak salah adalah seorang reporter Jakarta Post.
Setelah seluruh peserta terkumpul dan saling memperkenalkan diri satu sama lain, secara bergiliran masing-masing kelompok berjalan kaki menuju Taman Kridaloka yang terletak di bagian belakang kolam renang Senayan. Sambil berjalan, oleh pemandu dijelaskan mengenai sejarah Gelora Bung Karno dan Hutan Kota Kridaloka.
Gelora Bung Karno didirikan pada tahun 1962. Bermula dari keinginan Presiden Soekarno untuk membuat suatu daerah yang diperuntukkan khusus untuk olahraga, maka didirikan suatu kompleks olahraga serbaguna di daerah Senayan, Jakarta, dinamakan Istora Senayan (Istora=Istana Olahraga). Kompleks olahraga ini kemudian dinamai Gelora Bung Karno untuk menghormati Soekarno, Presiden pertama
Namun, dalam rangka de-Soekarnoisasi, pada masa Orde Baru, nama kompleks olahraga ini diubah menjadi Istora Senayan. Setelah bergulirnya gelombang reformasi pada 1998, nama kompleks olahraga ini dikembalikan kepada namanya semula melalui Surat Keputusan Presiden No. 7/2001.
Dengan kapasitas sekitar 100.000 orang, stadion yang mulai dibangun pada pertengahan tahun 1958 dan penyelesaian fase pertama-nya pada kuartal ketiga 1962 ini merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Menjelang Piala Asia 2007, dilakukan renovasi pada stadion yang mengurangi kapasitas stadion menjadi 88.083 penonton. Pembangunan awalnya didanai dengan kredit lunak dari Uni Soviet sebesar 12,5 juta dollar AS yang kepastiannya diperoleh pada 23 Desember 1958.
Selain sebagai tempat berolahraga, kawasan Gelora Bung Karno oleh berbagai kelompok masyarakat sering dimanfaatkan sebagai ajang bertemu. Pada awalnya, tujuan dibangunnya stadion ini, Presiden Soekarno juga menginginkan kompleks olahraga yang dibangun untuk Asian GamesIV 1962 ini juga hendaknya dijadikan sebagai paru-paru kota dan ruang terbuka tempat warga berkumpul. Untuk memperoleh biaya pemeliharaan dan perbaikan fasilitas-fasilitas olah raga di dalamnya yang berkelanjutan, dibuatlah suatu persewaan tempat untuk komersial. Namun, maksud tersebut akhirnya menjadi menyimpang, banyak bagian dari kompleks ini yang dialihfungsikan menjadi bangunan komersial, sebagai contoh: Hotel Mulia, Mall, JCC, dsb, sehingga mengakibatkan luas wilayah yang murni dipergunakan untuk olah raga hanya tinggal sedikit.
Hutan
Sesampainya di Hutan
Pada tahun 70an, angsana dan akasia, melalui program gubernur ditanam di sepanjang jalan di DKI
Selama perjalanan berkeliling hutan
Seusai berjalan-jalan, sambil makan snack, setiap kelompok diberi tugas untuk membuat semacam sketsa Hutan Kridaloka, di mana dalam sketsa tersebut diminta untuk menggambarkan objek-objek menarik yang ditemui selama berjalan-jalan di Hutan
Selanjutnya, kami meneruskan perjalanan ke halte busway Polda Metro. Sambil berjalan kaki, kami juga mengamati kondisi di sekitar kami, sambil dijelaskan oleh pemandu kami. Kami melewati stadion renang Senayan. Diceritakan bahwa stadion tersebut dibangun pada awal tahun 80, dan merupakan satu-satunya kolam renang di Indonesia yang berstandar internasional (untuk kolam renang yang bukan untuk komersial). Sepanjang perjalanan menuju halte busway, kami juga menemui berbagai macam jenis tanaman, seperti Bisbul (pohon buah), Gandaria (buahnya untuk sambal, rasanya asam. Nama gandaria dipergunakan sebagai nama jalan di daerah radio dalam), Ketapang, Maja (Buahnya pahit, yang kemudian disebut menjadi nama kerajaan Majapahit), Sikat botol, Trembesi serta Pohon sapu tangan.
Sesampainya di halte busway, rombongan tur hijau diajak naik busway yang telah dipesan khusus menuju halte Monumen Nasional (Monas). Selama perjalanan menggunakan busway, pemandu menjelaskan etika-etika menumpang busway. Selain itu, juga dijelaskan mengenai lokasi-lokasi yang dilalui oleh busway. Sebagai contoh Taman galunggung dukuh atas, Hotel Le Meridien yang ternyata dulunya adalah kuburan Belanda, air laut dari Ancol sudah masuk kawasan Sarinah sehingga menyebabkan airnya menjadi payau, muka air tanah di daerah Sudirman sudah turun 1 m sebagai akibat eksplorasi air tanah sehingga juga terjadi intrusi air laut, Mal EX merupakan salah satu mal di jakarta yang menyediakan parkir khusus sepeda, dsb. Selain hal-hal tersebut juga dijelaskan bahwa jauh lebih baik apabila pemerintah menyediakan jalur khusus untuk sepeda dibandingkan memperbesar jalur untuk busway. Sembari naik busway, kami juga memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru mengenai kota Jakarta.
Rombongan kemudian tiba di halte Monumen Nasional. Setelah turun dari busway, rombongan berjalan kaki menuju Taman Prasasti. Di perempatan, kami menemukan Pohon beringin pencekik. Dinamakan dengan istilah ”pencekik” dikarenakan beringin tersebut mengikat inang sampai mati (simbiosis Parasitisme). Penyedotan dari tubuh inang tersebut menyebabkan terbentuknya ruang kosong di tubuh inang, hingga pada akhirnya inang tersebut mati.
Melanjutkan perjalanan kami, akhirnya kami tiba di Museum Taman Prasasti. Museum Taman Prasasti, yang terletak di Jl. Tanah Abang 1 No. 1, Jakarta Pusat, merupakan pemakaman Belanda, berusia 214 tahun. Taman Prasasti ini termasuk pemakaman paling tua di dunia (1795), lebih tua daripada pemakaman-pemakaman yang ada di Amerika Serikat. Pemakaman ini merupakan pemakaman publik yang terkenal di jamannya, karena tokoh-tokoh masyarakat dimakamkan di pemakaman ini. Luasnya mula-mula adalah 5,5 Ha, namun karena arus sejarah maka arealnya pun menciut dan tersisa hanya sekitar 1,3 Ha. Bekas-bekas lokasi makam ini, contohnya yaitu kantor walikota. Di pemakaman ini sudah banyak prasasti yang hilang, hanya tersisa 32 makam yang masih di sini, dan yang lainnya hanya merupakan nisan-nisan bekas dari makam. Pemakaman ini sering dipergunakan sebagai lokasi shooting hingga pemotretan pernikahan.
Memasuki areal Taman Prasasti, saya melihat semacam tugu bertuliskan ”Museum Taman Prasasti” dengan patung-patung malaikat di bagian atasnya. Di sisi kanan gerbang, juga terdapat pelat batu tertempel di dinding bertuliskan ”Monumen Taman Prasasti”, di depannya terdapat sebuah replika meriam. Taman Prasasti ini posisinya dekat Kali Krukut. Pada masa itu, jenazah diangkut dengan menggunakan perahu, melalui Kali Krukut.
Rombongan berkumpul di depan pintu masuk pemakaman, yang merupakan pendopo utama yang dulu digunakan untuk upacara. Di dalam bangunan ini terdapat ruangan di sayap kanan-kiri yang berfungsi untuk menyemayamkan jenazah. Selain itu, juga terlihat banyak pilar serta pelat-pelat besi bertulis tertempel pada dinding. Di salah satu ruang bekas ruang penyemayaman jenazah inilah kita bisa membeli tiket untuk masuk ke museum ini. Dengan tiket seharga 2 ribu rupiah, kita bisa menjelajah setiap sudut area museum. Museum ini beroperasi setiap Selasa hingga Minggu, mulai pukul 9 pagi hingga 3 sore, dan tutup pada hari Senin serta hari libur nasional.
Pintu masuk pemakaman merupakan sebuah gerbang kayu besar berpintu dua, dengan pelat kayu bertulis di atasnya. Ketika menginjakkan kaki ke dalam pemakaman, yang tersirat dalam pikiran adalah perasaan takjub, karena kesan eksotik dari pemakaman tersebut. Di pemakaman ini saya tak merasakan suasana angker, kumuh, kotor walaupun rasa takut masih sedikit terasa. Berbeda dengan pemakaman umum, pemakaman ini cukup bersih dan tidak sumpek. Pemakaman ini memberikan nuansa sepi, sejuk, dan tenang, terutama di tengah hiruk-pikuknya Jakarta.
Nisan-nisan yang terdapat di pemakaman ini beraneka rupa bentuk dan bahannya. Bentuk-bentuknya bergaya Eropa klasik, sehingga memberi kesan mewah dan indah. Dari angka tahun yang tertulis di nisan, rata-rata berangka tahun wafat 1800-1900-an. Yang dimakamkan di sini pun beragam, awalnya hanya diperuntukkan oleh kaum bangsawan dan pejabat VOC/Batavia, namun seiring waktu masyarakat umum pun diterima, tentunya dengan membayar sejumlah tertentu.
Begitu memasuki kawasan ini, saya langsung berkeliling-keliling sambil memotret nisan-nisan dan prasasti yang terlihat unik serta menarik. Di sisi kanan dari gerbang masuk, terdapat sebuah kereta, mirip seperti kereta dalam film-film Eropa, yang ternyata adalah kereta untuk mengangkut jenazah. Kereta jenazah tersebut pernah dipakai untuk mengangkut jenazah dari pelabuhan Kali Krukut ke pemakaman Kebon Jahe Kober. Kereta ini terbuat dari besi dan kaca, terlihat anggun dengan ukiran-ukiran.
Seperti telah diceritakan di awal, jenazah dibawa dari kota Batavia ke pemakaman dengan menggunakan perahu yang melalui Kali Krukut, kemudian jenazah dibawa ke pemakaman dengan menggunakan kereta kuda ini. Jumlah kuda yang menarik kereta menunjukkan status sosial si jenazah. Dulu terdapat lonceng perunggu yang terpasang pada tiang besi setinggi 4 meter yang berada di pelabuhan, yang jaraknya kurang lebih 500 meter dari makam. Ketika jenazah tiba di pelabuhan, lonceng ini akan dibunyikan sebagai tanda jenazah telah tiba.
Tak jauh dari kereta jenazah, terdapat sebuah bangunan berbentuk seperti rumah, yang kini berfungsi sebagai gudang. Di bangunan itu dulunya ditemukan mumi dari keluarga keluarga A.J.W. Van Delben. Mumi itu sekarang entah berada di mana.
Berjalan agak ke belakang, saya melihat sebuah dinding dengan prasasti di tengah dan ada hiasan tengkorak yang tertancap pedang, dinamakan monumen pecah kulit. Inilah prasasti Pieter Erbelrveld, seorang campuran Jerman dan Thailand yang membenci orang-orang Belanda. Pieter Erberveld begitu membenci pemerintah Batavia yang sewenang-wenang. Beberapa kali Pieter Erbelverd melakukan perlawanan terhadap pemerintah dengan dibantu oleh Raden Kartadriya. Belanda menuduh Erbelverd hendak melakukan pemberontakan dan melakukan pembantaian terhadap etnis Belanda. Ketika tertangkap, Erberveld diganjar hukuman yang sangat kejam. Tangan dan kakinya diikatkan ke 4 ekor kuda kemudian ditarik ke 4 arah yang berbeda. Tentu saja badannya robek dan berhamburan di jalan. Lokasi tempat eksekusi Erberveld yang terletak di tepi Jacatra-weg ini kini dikenal dengan Jalan (Kampung) Pecah Kulit, yang sekarang menjadi Jalan Pangeran Jayakarta. Kepala Erberveld ini kemudian ditusuk dengan pedang dan dijadikan monumen sebagai peringatan kepada warga agar tidak melawan Belanda. Sebuah prasasti sepanjang sekitar 8 meter pun dibuat yang berisi peringatan dalam bahasa Belanda dan Jawa untuk tidak mendirikan bangunan atau menanam tumbuhan di sekitar monumen. Prasasti yang terletak di Kampung Pecah Kulit ini kemudian dipindahkan ke Museum Taman Prasasti. Namun tengkorak dan pedang di prasasti ini tentu hanya replika.
Di pemakaman ini saya menemukan banyak nama penting , antara lain H.F. Roll (pendiri STOVIA - School tot Opleiding van Indische Artsen, sekolah tinggi kedokteran untuk kaum pribumi), Olivia Mariamne Raffles (istri pertama Thomas Stamford Raffless saat masih menjabat jadi Gubernur Letnan Jawa ketika pemerintahan Inggris. Olivia adalah pencetus ide pembangunan Kebun Raya Bogor), Soe Hok Gie (tokoh pergerakan mahasiswa era tahun 1967-1969, yang meninggal menghirup gas beracun di Gunung Semeru), Miss Riboet (penyanyi dan penari terkenal dari kelompok seni Orion Junior yang didirikan oleh suaminya, Tio Tek Djien, pada tahun 1925. Selain menari, Miss Riboet piawai memainkan pedang). Dr. J.L. Andries Brandes (seorang arkeolog yang menguasai sastra Jawa kuno dan banyak sekali mengungkap Sejarah Indonesia, mulai dari Kitab Pararaton, naskah raja-raja Tumapel hingga Majapahit), Adami Caroli Claessens (seorang pastur Katolik yang datang ke Hindia Belanda pada tahun 1847. Salah satu jasa Claessens adalah membangun kembali Gereja Katedral yang roboh pada tahun 1890), J.H.R. Kohler (seorang panglima tinggi militer Batavia yang gugur ketika melakukan ekspedisi ke Aceh).
Pemakaman ini rupanya sangat menarik bagi rombongan tur, terutama untuk berfoto-foto. Di beberapa tempat terdapat patung-patung menarik seperti malaikat, dan juga terdapat replika katedral. Ada juga bentuk-bentuk bangunan dengan arsitektur yang indah.
Seusai berkeliling-keliling dan berfoto-foto, rombongan berkumpul sembari duduk-duduk menikmati keteduhan suasana. Acara dilanjutkan dengan presentasi masing-masing kelompok untuk menjelaskan sketsa Kridaloka dan Taman Prasasti yang telah mereka buat. Kemudian, dilanjutkan dengan makan siang sambil mengisi kuesioner, masih di dalam areal pemakaman Taman Prasasti.
Selesai makan siang, rombongan berfoto bersama, kemudian kembali berjalan kaki menuju halte busway monumen nasional, kemudian kembali ke Senayan menggunakan busway. Dalam perjalanan menuju Senayan, panitia Green Map menjelaskan mengenai apa itu Green Map, dsb.
Sesampainya di Senayan, rombongan berjalan kaki ke area ICE 2009, lokasi dimana bisa bertemu, berinteraksi dengan komunitas-komunitas lain. Ada sekitar 150 komunitas berekspresi di sini, termasuk juga stand Green Map Jakarta.
Mengikuti Tur Hijau Green Map sangat menarik dan bermanfaat, karena memberikan banyak pengetahuan baru, terutama mengenai kawasan hijau di Jakarta dan juga mengenai sejarah masa lampau. Berkunjung ke Hutan kota Kridaloka dan Museum Taman Prasasti dapat dijadikan tempat alternatif untuk wisata. Setelah mengikuti tur Green Map ini, diharapkan masyarakat semakin peduli terhadap kondisi Jakarta, termasuk pentingnya pelestarian kawasan hijau dan lokasi bersejarah, serta menyadari perlunya menjaga etika dalam menggunakan kendaraan umum seperti busway.
No comments:
Post a Comment