Eight Below

Eight Below

The Real World Adventurer..

"In this life, only the fool who always start the questions of life, moreover start their life mission and purpose of money. And once beginner ask where they get money, then they will be shackled by the constraints/obstacles. And almost certainly the answer is simply no money, can not and will not be" (Rhenald Kasali - Professor of University of Indonesia)

Saturday, February 6, 2010

Eight Below

Eight Below is a 2006 adventure film directed by Frank Marshall and written by David DiGilio, which was released on February 17, 2006, distributed by Walt Disney Pictures, in the United States.

It aired on Universal HD on January 30, 2009, being Disney's first film to air on Universal HD.


Background

The 1958 ill-fated Japanese expedition to Antarctica inspired the 1983 hit movie Nankyoku Monogatari. Eight Below is the fictional adaptation of the events of the 1958 incident moved forward to 1993, the last year that sled dogs were used in Antarctica.[2] In the 1958 event, fifteen Sakhalin Husky sled dogs were abandoned when the expedition team was unable to return to the base. When the team returned a year later, two dogs were still alive. Another seven were still chained up and dead, and six unaccounted for.


Sled Dogs

In Eight Below there are two Alaskan Malamutes (Buck and Shadow) and six Siberian Huskies (Maya, Max, Truman, Dewey, Shorty and Old Jack). Each actor-dog had help from other dogs who performed stunts and pulled sleds. In all, over 30 dogs were used to portray the film's eight canine characters. Max, Maya and Dewey were played by dogs seen in Disney's Snow Dogs.[3]


See Also:

http://en.wikipedia.org/wiki/Eight_Below


Balto..The Hero Dog of Alaska..

Balto (c.1919-14 March 1933) was a Siberian Husky sled dog who led his team on the final leg of the 1925 serum run to Nome, in which diphtheriaantitoxin was transported from Anchorage, Alaska to Nenana, Alaska by train and then to Nome by dog sled to combat an outbreak of the disease.[1] [1][2] [3] The run is commemorated by the annual Iditarod Trail Sled Dog Race. Balto was named after the Sámi explorer Samuel Balto.

See also:

Related Links:


Jack the Ripper



Jack the Ripper.. Tokoh ini sering kali muncul dalam kisah-kisah detektif seperti Sherlock Holmes, Detective Conan, Detective School Q dan kisah-kisah detektif lainnya. Siapakah sebenarnya Jack the Ripper?


Jack the Ripper (Jack sang Pencabik) adalah julukan untuk tokoh misterius yang melakukan serangkaian pembunuhan berantai dan mutilasi di Inggris pada abad 19.

Pada 31 Agustus 1888 lewat tengah malam, di distrik East End di kota London, Inggris yang dikenal dengan nama Whitechapel (daerah lampu merah di London) pernah dihebohkan dengan aksi pembunuhan berantai sadis terhadap sejumlah wanita tuna susila. Identitas pelaku pembunuhan hingga kini tidak berhasil diungkap. Polisi hanya tahu bahwa sang pembunuh menjuluki dirinya "Jack the Ripper".

Jack The Ripper tidak meninggalkan bukti satu pun dalam tindakan kriminalnya, pola pembunuhannya pun tidak diketahui, bahkan bisa dibilang acak. Satu-satunya persamaan antara korban-korbannya ialah bahwa mereka adalah wanita tuna susila.

Jack The Ripper membunuh korban-korbannya tanpa ampun. Setelah memotong leher korbannya, kemudian Jack The Ripper memutilasi mereka. Bagaikan bayangan di malam hari, tidak ada seorangpun yang dapat menguak siapakah Jack The Ripper sebenarnya. Walaupun Jack The Ripper "hanya" beraksi lebih kurang satu tahun, korbannya sangat banyak dan telah menjadi legenda sampai sekarang.

Ada juga dugaan kalau pelaku adalah seorang dokter atau setidaknya orang yang mempunyai latar belakang pendidikan kedokteran spesialisasi di bidang operasi bedah karena sayatan-sayatan di tubuh korbannya sangat rapi yang hanya bisa dilakukan menggunakan alat-alat operasi kedokteran yang membutuhkan keahlian khusus.

Identitas Jack the Ripper sampai hari ini masih merupakan misteri; para spekulan memprediksi bahwa Jack the Ripper telah menyebrangi Laut Atlantik dan bermukim di AS setelah pembunuhan-pembunuhan tersebut.


(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Jack_the_Ripper)


Other Related Articles:

http://www.casebook.org/index.html

http://www.nationalarchives.gov.uk/museum/item.asp?item_id=39

http://www.met.police.uk/history/ripper.htm

http://en.wikipedia.org/wiki/Jack_the_Ripper


Friday, February 5, 2010

HASIL INTERVIEW DENGAN BANTHE


9 Mei 2009

Interview with:

Dharma Wimala

Banthe Vihara Ekayana

Ekayana Buddhist Centre

Tanjung Duren – Greenville

Jakarta Barat


Berdasarkan interview yang saya laksanakan pada hari Sabtu, 9 Mei 2009 bertepatan dengan Hari Raya Trisuci Waisak di Vihara Ekayana, Tanjung Duren - Greenville, berikut ini merupakan informasi yang saya peroleh mengenai Buddhisme:

Berkaitan dengan kasus ’Buddha Bar’ yang saat ini masih marak dibicarakan, menurutnya hal tersebut tidaklah patut karena nama Buddha disandingkan dengan Bar yang sangat kontroversial. Kasus tersebut oleh umat Buddha dibawa ke hukum, dan penekanannya yaitu melalui demo sebagai bentuk perjuangannya. Demo lebih efektif dan lebih diperhatikan. Dalam UU Indonesia ada sebuah pasal dimana di dalamnya disebutkan bahwa nama agama tidak boleh digunakan untuk merek dagang. Dengan adanya demo yang dilakukan oleh umat Buddha, pemerintah akhirnya menyadari adanya kekeliruan. Tujuan dari demo tersebut adalah untuk meluruskan kekeliruan, agar pihak yang menyimpang menyadari dan agar jangan mengulang kesalahan yang sama. Dalam menghadapi kasus ini tidak perlu terlalu emosi. Pada akhirnya setelah disadari adanya kekeliruan, pemerintah mencabut ijin pendirian Buddha Bar, saat ini plang Buddha Bar telah diturunkan dan akan diganti namanya.

Ketika ditanya mengenai ‘Mengapa umat Buddha tidak mau open/memunculkan diri ke masyarakat, terutama dalam bidang politik?,” menurut Banthe, hal tersebut merupakan kecenderungan umat Buddha di dunia. Di Indonesia pada jaman orde baru, agama Buddha dikaitkan dengan etnis Tionghoa, sehingga menyebabkan adanya suatu ketakutan. Setelah reformasi, umat Buddha baru mulai memunculkan diri. Jika dibandingkan dengan agama lain, umat Buddha memang lebih menutup diri untuk mengambil peran di masyarakat (terutama dalam hal politik), kurang berpikir kontekstual. Padahal Buddha sendiri ikut politik. Sebagian besar umat Buddha memiliki kecenderungan spritual yang sempit (hanya terbatas pada pengembangan spiritual diri sendiri/individu), namun saat ini kesadaran mulai tumbuh, apalagi di Barat. Namun umat Buddha yang mengambil peran di masyarakat tidak membawa nama agama. Ada sebuah buku, karangan seseorang dari Vietnam, mengatakan bahwa umat Buddha sebenarnya tidak pasif, namun jumlah yang tidak pasif tersebut hanya sedikit (minoritas). Umat Buddha yang berbuat sosial ya sosial, tidak dikaitkan dengan agama. Kegiatan sosial tersebut merupakan suatu aktivitas sebagai bentuk dari agama, sebagai praktik spiritual. Namun dalam kehidupan umat Buddha sendiri, memang budaya konservatif lebih kental. Yang tidak konservatif hanya kadang-kadang/jarang-jarang.

Mengenai sektenisasi yang sedang marak, termasuk dalam agama Buddha yang terbagi menjadi beberapa sekte (sekitar 18 sekte) dan sekte-sekte itu terbagi lagi menjadi sub-sub sekte, Banthe mengatakan bahwa tidak ada masalah mengenai hal tersebut. Agama Buddha merupakan satu kesatuan. Secara filosofis, agama Buddha hanya terbagi menjadi dua sekte besar, yaitu Theravada dan Mahayana, ditambah dengan sekte dari Tibet, yaitu Tantrayana. Sekte merupakan suatu penerapan atas metode yang dirasa cocok oleh suatu kelompok ataupun orang tertentu yang pada akhirnya berkembang menjadi satu tradisi, kemudian masuk ke suatu negara. Jadi sekte itu merupakan bentuk penerapan terhadap budaya suatu negara. Buddha masuk ke India menjadi Buddha India, masuk ke Tiongkok menjadi Buddha Tiongkok, begitu pula dengan yang masuk ke negara-negara lainnya, ada bungkus budayanya. Sebenarnya ada dua hal yang mendasari, yang pertama yaitu budaya, dimana orang-orangnya lebih mudah belajar. Yang kedua, yang penting essensial dan kontekstual. Di Indonesia, hal kedua yang paling banyak digunakan, menggunakan kekayaan semua tradisi / budaya Indonesia, yang kontemporer dan lebih sesuai dengan kebutuhan serta ada penyesuaian. Yang menjadi masalah sebenarnya hanyalah metode dan budayanya bisa banyak. Dalam Puja Bhakti Waisak hari ini terlihat bahwa tidak membedakan sekte-sekte dalam agama Buddha, semua sekte berdoa bersama-sama, dan dari tata cara kebaktiannya disesuaikan menggunakan tata cara yang digunakan oleh semua sekte tersebut (ada bahasa pali, sanserketa, dan koi), begitu pula dengan biksunya yang berasal dari sekte-sekte yang berbeda (20 banthe dengan pakaian berwarna berbeda-beda sesuai dengan sekte mereka), namun satu.

Melihat glamournya dunia, Banthe memandangnya sebagai masalah. Lawan kita bukan agama lain, melainkan derasnya materialisme, hedonisme dan konsumerisme yang bisa membuat ego, keserakahan dan kebencian menyebar, salah satu bentuknya yaitu Buddha Bar. Untuk menghadapi hal tersebut tidaklah cukup hanya menggunakan jalur ritual dan intelektual, tetapi juga menggunakan jalur praktek baru bisa muncul kesadaran, sehingga bisa membedakan (tahu) mana yang baik dan tidak baik.

Terpikir mengenai Yayasan Buddha Tsu Chi yang menggunakan nama Buddha sebagai landasannya, Banthe bercerita bahwa aktivitas Tsu Chi awalnya bergerak dalam bidang kesehatan, namun pada akhirnya bertambah / berkembang menjadi lebih terbuka. Pada tahun 60an banyak terbentuk gerakan Buddhism di Vietnam, salah satunya yaitu Tsu Chi. Murid dari yang melakukan pergerakan itulah yang menulis buku mengenai Buddha di Vietnam. Dulu sifatnya lebih individu, namun sekarang budaya N-gadges, cirinya universal. Dengan amal, bertujuan untuk menyelesaikan persoalan kemanusiaan. Agama Buddha sebagai landasan. Tsu Chi sendiri sebenarnya merupakan ekspresi praktek dari guru-guru Buddhist yang mempraktekan ajaran agama Buddha dengan lebih terbuka, yaitu kemanusiaan universal, beda dengan Buddhism yang pada umumnya tertutup seperti pembiaraan dari Thailand. Aktivitas ini sebenarnya lebih ditujukan untuk anak muda di Asia., biasanya disupport oleh organisasi-organisasi Katolik (sering memberi dukungan). Umat Buddhist yang mulai berperan di masyarakat jumlahnya memang masih sedikit, namun terus berkembang dan nantinya akan memberikan pengaruh yang lebih besar. Tetapi dari pihak Buddhist sendiri mengajukan pertanyaan untuk Tsu Chi yang banyak menolong orang-orang dari berbagai agama, ’Bagaimana mengenai bantuan bagi umat Buddha sendiri? Umat Buddha pun banyak yang membutuhkan pertolongan/bantuan’, Tsu Chi lebih banyak memberikan bantuan untuk orang-orang yang beragama lain.

Menjawab pertanyaan mengenai relasi dengan agama lainnya, Banthe mengatakan bahwa umat Buddha tidak suka macam-macam, sehingga dari pihak Buddhist tidak membuat aksi-aksi, tetap adem ayem.

Mengenai Biksu yang tidak boleh makan lewat dari jam 12 siang dan tidak boleh bersentuhan dengan wanita, bukanlah harga mati. Makan terdiri dari dua kelompok, yaitu boleh makan lewat dari jam 12 siang namun dalam jumlah sedikit, ada pula yang tidak makan sama sekali. Pola makan tersebut (tidak boleh makan lewat dari jam 12 siang) merupakan bentuk olah spritual dan meditasi, dan sebenarnya melihat bahwa makan malam tidak begitu penting/perlu. Jika makan malam kebanyakan akan meningkatkan jumlah energi, yang akan meningkatkan nafsu seksual. Dengan demikian, lebih dianjurkan makan hanya pada pagi hari sekitar jam 8 atau 9, namun dalam porsi besar dan cara mengunyah yang benar, sehingga makanan dapat diserap usus dengan baik. Makan malam tidak terlalu dibutuhkan, tidak ekstrim, kecuali di tempat dingin, namun makanannya vegetarian. Larangan bersentuhan dengan wanita yaitu jika dengan birahi. Jika tidak, boleh-boleh saja, seperti berjabat tangan. Menyentuh diperbolehkan, namun tidak menyentuh lebih aman, terutama bagi yang masih muda, ada yang suka membuta.

Demikian hasil interview saya dengan Banthe, sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin saya tanyakan kepada Banthe, namun saya merasa tidak enak karena mengganggu waktu senggang Banthe (waktu itu Banthe sedang menunggu dijemput untuk pergi ke tempat lain, sementara saya meminta kesempatan untuk interview dengannya).. Takut mengganggu jadwalnya jika saya mengulur waktu lagi untuk interview.. Namun saya rasa hasil yang saya dapatkan dari interview tersebut sudah cukup lengkap.

HASIL INTERVIEW DENGAN PEMUDA BUDDHIST


30 April 2009

Interview with:

Joko Hermanto

(Yang Shen Yi)

Perwakilan Mahasiswa Buddhist, Pengurus Unit Kegiatan Kerohanian Buddha (UKKB), Trisakti School of Management (STIE Trisakti)

Aliran Buddha: Tantrayana


Berdasarkan interview yang saya laksanakan pada hari Kamis, 30 April 2009 di Sekretariat Unit Kerohanian Katolik Trisakti (UKKT), Universitas Trisakti, berikut ini merupakan informasi yang saya peroleh mengenai Buddhisme:

Ketika ditanya mengenai ‘Mengapa umat Buddha tidak mau open/memunculkan diri ke masyarakat, terutama dalam bidang politik?,” menurut Joko mereka kemungkinan ingin menjaga image dan tidak mau terlalu ikut campur masalah politik.

Mengenai relasi dengan sesama yang berbeda agama, dalam ajaran mereka tidak dipermasalahkan, berteman dengan yang berbeda agama diperbolehkan, begitu pula dengan mempelajari agama lain pun boleh, kecuali untuk menganut agama maupun aliran lebih dari satu barulah tidak diperbolehkan. Umat Buddha cukup toleran dengan agama lain, tidak ada masalah. Joko sendiri sejak kecil bersekolah di sekolah Katolik dan aktif di kelompok koor sekolah, serta pernah menjadi simpatisan Katolik hanya untuk mempelajari agama Katolik (karena ketertarikan dan keingintahuannya), dan hal tersebut tidak dilarang dalam ajaran Buddha sendiri.

Berkaitan dengan kasus Buddha Bar yang saat ini masih marak dibicarakan, Joko berpendapat bahwa kemungkinan didirikannya Bar dengan menggunakan nama Buddha tersebut sebenarnya hanya ingin mengambil unsur “unik” dari pernak-pernik Buddha, terlihat dari patung-patung Buddha dan juga suasana ruang makannya yang dibuat remang-remang dan banyak lampion seperti di vihara, namun yang tidak bisa ditoleransi adalah disana terdapat tempat sampah yang berbentuk kepala Buddha terbalik, hal tersebut tidaklah sopan dan menghina Buddha itu sendiri. Demikian pula, dengan kondisi Bar di lantai atas yang tidak jelas digunakan untuk kegiatan apa saja (bisa saja untuk penjualan minuman keras, dugem, dll). Dari informasi yang saya peroleh di internet, dikatakan bahwa umat Buddha tidak ingin mempolitisi kasus Buddha Bar, menurut Joko umat Buddha sendiri sebenarnya tidak setuju dengan didirikannya Buddha Bar, namun tidak mau dipolitisi karena “Kalau mau protes juga percuma, apa akan digubris?,” tutur Joko.

Aliran Buddha yang dianut Joko merupakan aliran Tantrayana. Aliran tersebut asalnya dari Tibet dan Mandarin, bedanya dengan aliran Buddha yang lain yaitu aliran ini tidak menggunakan mantra, “Ajarannya mengenai kebenaran dan kebajikan yang isinya kurang lebih mirip dengan 10 Perintah Allah dalam agama Katolik,” ungkapnya.

Berbeda dengan aliran Theravada yang berasal dari Thailand, ajarannya yaitu “Pancasila 5”, yang isinya seperti tidak boleh berbohong, dll.

Umat Buddha yang biasanya vegetarian yaitu berasal dari aliran Maitreya. Maitreya sendiri merupakan campuran dari banyak sekte Buddha, Joko sendiri berpendapat bahwa ajaran di aliran Maitreya banyak yang tidak masuk akal, banyak yang aneh.

Buddha terdiri dari banyak sekte / aliran (sekitar 18 aliran), hal tersebut ada yang bilang menimbulkan kasus kesensitifan antar aliran, menurut Joko hal tersebut sebenarnya tergantung mindset setiap orang yang berbeda-beda, kalau untuk Joko sendiri tidak ada masalah, biasa-biasa saja.

Yang menjadi dasar dari ajaran agama Buddha secara umum yaitu “berbuat Kebajikan dan Kebenaran”. Berbuat kebajikan yaitu dengan menolong sesama yang kesusahan. Secara massal, kegiatan yang biasa dilakukan oleh umat Buddha berupa: baksos (ke daerah korban bencana alam, panti asuhan, panti jompo, dll), kerja bakti membersihkan Vihara, membersihkan patung Buddha, menyapu kuburan, dan juga mengadakan acara donor darah. Secara individu / pribadi masing-masing, biasanya melakukan meditasi untuk olah batin.

Berkaitan dengan pemimpin agama, ternyata dalam agama Buddha itu sendiri berbeda-beda untuk setiap alirannya. Untuk Tantrayana, biksunya boleh menikah dan penganutnya boleh makan apa saja (karena ada aliran yang tidak boleh makan sapi – untuk penganut yang menyembah dewi Quan In, dan ada pula yang vegetarian – untuk penganut aliran Maitreya), ada struktur tingkatan pemimpin agamanya (tingkatan di atas Biksu disebut dengan Bhante, dan di atas Bhante masih ada lagi). Pada Theravada, biksunya tidak boleh bersentuhan dengan wanita dan tidak diperbolehkan makan lewat dari jam 12 siang (untuk alasannya mengapa seperti itu, kata Joko coba tanyakan ke biksu saja langsung karena dia sendiri tidak tahu alasannya, begitu pula dengan pertanyaan ‘Mengapa biksu harus botak?’ dan ‘Mengapa ada tanda titik sebanyak 6 buah di kepala biksu?,’ Joko pun tidak tahu mengapa). Berbeda dengan Maitreya yang tidak memiliki biksu.

Dalam ajaran Buddha, yang paling dominan adalah kepercayaan mengenai “Reinkarnasi” dan “Kharma”. Joko bercerita bahwa ada yang disebut dengan Dewa Tanah, dimana Dewa ini yang mempunyai kuasa untuk memberikan surat ijin kepada arwah-arwah yang ingin balas dendam karena mati dibunuh. Kharma yang paling parah / berat yaitu untuk orang-orang yang membunuh orang tuanya maupun bunuh diri. Ada yang dinamakan Dewa Neraka, dimana Dewa ini memegang “Jadwal kematian”. Untuk orang-orang yang mati karena bunuh diri akan mendapat hukuman berupa harus melakukan bunuh diri setiap harinya hingga dosanya tertebus. Jika mati karena dibunuh orang, bisa balas dendam dan bisa didoakan agar arwahnya bisa bereinkarnasi. “Berbeda dengan Hitler yang berada di neraka lapis 18, yang dihukum penggal kepala setiap harinya,” kata Joko berdasarkan kesaksian pemimpin alirannya yang disebutnya “Guru” yang pernah mendapat kesempatan melihat suasana di neraka. Demikian pula dengan orang-orang yang sering melakukan “potong daging”, hukumannya juga berat. “Ada orang yang pekerjaannya tukang potong babi, tangannya menjadi seperti babi,” ungkapnya.

Dalam agama Buddha dikenal sebutan Bodhisattva, yaitu jenjang satu tingkat di bawah Buddha, dimana Buddha merupakan jenjang yang paling tinggi. Kita pun bisa menjadi Bodhisattva, syaratnya yaitu harus reinkarnasi terlebih dahulu menjadi laki-laki baru kemudian bisa menjadi Bodhisattva. Alasannya yaitu laki-laki “Chi”nya lebih kuat sehingga tidak mudah kerasukan.

Surga sendiri menurut kepercayaan mereka terdiri dari banyak lapis (lebih dari 18 lapis), seperti yang selama ini kita lihat di film-film cina. Jika banyak berbuat baik, maka akan semakin naik ke lapis atas, seperti Mother Teresa yang kata Gurunya sudah ada di lapis 10 ke atas. Untuk neraka juga terdiri dari berlapis-lapis, yaitu sebanyak 18 lapis. Untuk yang telah sampai ke lapis paling atas surga bisa menjadi manusia, dan biasanya bentuk reinkarnasinya yaitu orang-orang yang besar yang kaya maupun sukses seperti Bill Clinton yang konon katanya dulu adalah Bodhisattva.

Bencana Tsunami di Aceh katanya merupakan bentuk kharma massal, yaitu kharma dari banyak orang yang menumpuk menjadi satu sekaligus dan dibendung, tanda-tandanya terlihat dari awan hitam di sekitar Asia Tenggara.

Joko juga menceritakan mengenai “Master Lu Shen Yen” yang bisa membaca koran 20 ribu tahun ke depan dan 20 ribu tahun ke belakang. Satu tahun di bumi sama dengan beberapa puluh tahun di langit (akhirat). Master Lu Shen Yen banyak meramalkan mengenai masa depan, dan dari ramalannya tersebut banyak yang telah terwujud/menjadi nyata seperti ramalan mengenai akan munculnya aliran Buddha baru yaitu Maitreya, bencana Tsunami dan kereta api magnet yang kini sudah ada di Jerman. Master Lu Shen Yen juga meramalkan mengenai munculnya mobil terbang yang menggunakan kekuatan magnet positif dan negatif. Begitu pula mengenai kehidupan di luar angkasa yang katanya ada namun jaraknya ribuan tahun cahaya dari bumi, begitu pula dengan UFO yang hanya terlihat seperti sinar yang lewat dengan kecepatan sangat tinggi (ribuan tahun cahaya) yang katanya jika kita melihatnya bisa mati. Namun, beberapa ramalan tersebut masih belum terbukti nyata.

Pada agama Buddha juga ada perbedaan mengenai cara memasang hio, ada yang dalam keadaan masih terbakar dan menyala, ada pula yang sudah ditiup terlebih dahulu hingga hanya tersisa bunga api dan asapnya saja baru diletakkan di tempat hio.

Dalam agama Buddha ada kebiasaan untuk melakukan kremasi kepada orang yang sudah meninggal, menurut Joko dengan kremasi lebih bersih karena jenasahnya bebas dari belatung dan tidak membusuk. Untuk pemakaman ada juga yang melaksanakan, tetapi pelaksanaannya tergantung HongSui. Konon katanya jika menguburkan jenasah ketika HongSuinya jelek, maka jenasah tersebut akan menjadi vampir, dan tidak baik untuk keluarganya. Yang dimaksud dengan vampir disini tidak seperti vampir seperti di film-film yang bisa dipelihara dan juga hidup, namun hanya merupakan jenasah yang rambut, gigi/taring dan kukunya memanjang serta menjadi awet (tubuhnya tidak dapat membusuk maupun hancur). Vampir dalam film-film Cina sebenarnya hanya merupakan wujud dari para bangsawan Cina jaman dahulu kala.

Dulu pernah ada sebuah film yang bercerita mengenai raja kera Shun Go Khong, bersama dengan temannya siluman babi Chi Pat Khai dan juga Biksu Thong Sham Chong. Konon katanya sebenarnya itu ada, begitu pula dengan siluman. Siluman itu memang ada namun tidak serumit yang digambarkan dalam film Shun Go Khong. Siluman merupakan setan maupun jin yang tidak bisa reinkarnasi, tingkatannya lebih di atas daripada setan maupun jin.

Menurut kepercayaan mereka, manusia ketika meninggal rohnya tidak menyadari bahwa dirinya telah meninggal, hal ini terjadi dalam selang waktu hingga 7 sampai 49 hari setelah orang tersebut meninggal, jadi mereka yang baru meninggal merasa seperti sedang mimpi.

Selain itu, ada juga kepercayaan jika untuk orang yang baru meninggal, jika kakinya terlebih dulu yang menjadi dingin, maka arwah orang tersebut langsung naik ke surga. Berbeda dengan yang kepalanya terlebih dahulu yang menjadi dingin, beban dosanya berat, maka akan disiksa di neraka. Begitu pula dengan “Pikiran yang pertama muncul” di pikiran orang yang akan meninggal sesaat kemudian, akan menentukan apakah rohnya akan senang atau tidak. Contohnya untuk orang yang terpikir mengenai masa kecilnya sesaat sebelum dia meninggal, berarti arwah orang tersebut akan senang. “Jika orang baru meninggal, jangan langsung diangkat jenasahnya karena rohnya masih di tubuh jenasah tersebut (tidak langsung lepas),” tutur Joko. Orang yang sudah meninggal akan terbebas dari segala kekurangan seperti penyakit maupun cacat yang dideritanya selama hidupnya.

Setan ada dua macam, ada yang baik dan jahat. Setan yang jahat bisa jadi baik jika arwahnya ditolong. Ada yang disebut dengan “Pasukan 108” yang terdiri dari 108 arwah yang bertugas membasmi setan-setan jahat. Untuk orang yang meninggal lewat dari jam 12 malam bisa bahaya, karena akan menjadi setan jahat seperti setan yang berbaju merah. Mahoma, dikenal sebagai mantra/doa untuk mendoakan arwah-arwah yang meninggal dengan tragis sekaligus memperbaiki bagian tubuh yang rusak (seperti menjahit kepala yang putus, memperbaiki kepala yang hancur, dll). Arwah-arwah tersebut juga didoakan dengan sembahyang Matria.

Seperti dapat kita lihat di film-film Cina, ketika ada yang meninggal biasanya akan dilakukan pembakaran materi (seperti rumah, mobil, dll yang terbuat dari kertas), menurut Joko hal tersebut berpengaruh atau tidak itu tergantung, sebenarnya bakar-bakaran itu hanya mengikuti permintaan terakhir orang yang sudah meninggal tersebut agar arwahnya tenang, karena ada banyak kejadian ketika permintaan terakhir orang yang meninggal tersebut tidak dipenuhi maka orang yang berkaitan dihantui melalui mimpi, istilahnya “bocengli” atau tidak tahu balas budi, dan percaya tidak percaya barang yang dibakar tersebut bisa diterima di sana, karena ketika permintaan terakhirnya terpenuhi tidak ada yang menghantui lagi.

Menjawab kasus yang ditanyakan oleh teman saya Richard, dimana ada suami istri yang meninggal dengan sakit yang sama secara tiba-tiba dengan waktu yang berbeda namun berdekatan, Joko mengemukakan bahwa hal tersebut bisa terjadi ketika arwah orang yang baru meninggal tersebut menarik atau mengajak istri/suaminya yang masih hidup untuk ikut bersamanya, maka beberapa waktu setelahnya, orang yang masih hidup tersebut akan mengalami sakit yang sama dengan istri/suaminya yang belum begitu lama meninggal tersebut.

Membahas kembali mengenai masalah neraka, di neraka seperti di dunia, ada yang menjadi kuli, dll. Pada neraka lapisan atas, siksaan yang ada di dalamnya tidak separah seperti di neraka lapisan bawah, yaitu hanya seperti siksaan untuk bekerja keras menjadi kuli, makanan yang ada terasa hambar, dan warna-warna yang ada di sana sama seperti di dunia hanya saja lebih gelap. Neraka lapis paling bawah yaitu lapis 18. Setelah melewati lapis 18, maka arwah tersebut bisa bereinkarnasi menjadi binatang yang biasanya akan dimakan ataupun dibunuh (sebagai pembalasan / kharma atas dosa yang belum juga tuntas/selesai).

Mengenai orang yang mati karena dibunuh mungkin karena orang tersebut memiliki hutang kharma. Untuk orang yang berbuat jahat dan dipenjara, lebih baik dikenakan hukuman penjara seumur hidup daripada dihukum mati, karena jika dihukum mati maka arwahnya akan menjadi makin jahat, berbeda dengan jika dipenjara seumur hidup maka akan mati sendiri/bukan karena dibunuh, maka arwahnya masih lebih mending/lebih baik dari yang dihukum mati. Bagi orang yang mati karena difitnah tidak akan masuk neraka karena akan ditolong untuk naik ke surga.

Demikianlah hasil tanya jawab saya dengan Joko. Dari situ, mengenai kepercayaan mereka dapat disimpulkan bahwa mereka mempercayai akan adanya roh, reinkarnasi dan juga kharma. Mungkin agak sedikit menyimpang dari apa yang seharusnya saya observasi, tetapi paling tidak hasil interview ini akan dapat memberikan sedikit gambaran mengenai kehidupan umat Buddha, termasuk di dalamnya apa yang mereka pahami, percaya dan kembangkan dalam hidup sehari-harinya.

Selain interview, Joko juga telah sangat berbaik hati meminjamkan saya buku-buku yang berkaitan dengan agama Buddha (yang dipinjamkan ke saya banyak dan tebal-tebal, di luar perkiraan saya yang hanya sekitar dua buku dan tipis-tipis..hoho, dan ternyata Joko sendiri belum pernah/baru sedikit sekali membaca buku-buku tersebut), yaitu:

  1. Menjadi UMAT BUDDHA (Penuntun Pelaksanaan Agama Buddha dalam Kehidupan Sehari-hari).
  2. Ksitigarbha Bodhisattva Purva Pranidhana Sutra.
  3. Jadilah Pelita (Ajaran Sejati Buddha).
  4. KeTuhanan dalam Agama Buddha (Sebuah Pembicaraan Awal).
  5. VIJJA – DHAMMA (Pelajaran Untuk Sekolah Menengah)
  6. Mengapa Kita HARUS Berbuat Kebajikan? (Dharma Practical Series, Seri 1.. dalam buku ini sekilas berisi mengenai apa yang dilakukan oleh Yayasan Amal Buddha “Tzu Chi”).
  7. Therapi Vipassana (Kasus-kasus Kesembuhan Melalui Meditasi Vipassana).
  8. Kamus Umum Buddha Dharma (Pali-Sansekerta-Indonesia).

Tambahan, sekilas mengenai Tata Cara Ibadat Umat Buddha. Saya pernah beberapa kali diundang oleh Joko untuk ikut berkunjung ke acara peringatan Hari Raya mereka, seperti Waisak dan Kathina. Dalam acara tersebut saya melihat bahwa cara berdoa mereka sangatlah khusyuk, paritta dibacakan dengan suara lantang dan nada yang kompak, demikian pula dengan sikap doa yang juga teratur. Dari segi tata cara ibadat, dilaksanakan dengan sangatlah ketat karena harus dengan gerakan dan cara/nada membaca doa yang telah ditentukan (ada standardnya), tidak boleh berbeda sama sekali. Selain itu, Joko juga pernah beberapa kali bercerita mengenai acara-acara lain (di luar Hari Raya) di agamanya seperti perjumpaan dengan 1000 bhante, Cheng-Beng (peringatan arwah-arwah dan kunjungan ke makam keluarga, diadopsi dari budaya Cina), Ce It (Sembahyang di kelenteng setiap tanggal 1 penanggalan Cina), Cap Go Meh, Imlek (ada doa di Vihara), dan lain sebagainya yang juga diadopsi dari budaya masyarakat Cina dimana budaya tersebut masih kental dilaksanakan oleh umat Buddha. Sekian dahulu dari saya, nanti akan saya sediakan artikel mengenai Buddha yang diambil dari buku-buku yang dipinjamkan oleh Joko serta hasil observasi ke Vihara pada lembar yang terpisah.. oh ya, tambahan sedikit lagi, di agama Buddha juga ada pemercikan umat dengan air suci, seperti di Katolik, tetapi bedanya, mereka menggunakan campuran bunga dan rempah-rempah serta air yang telah diberkati… Sekian untuk sementara..

HASIL INTERVIEW DENGAN PEMUDA BUDDHIST..(2)..

Foto (Dari Kiri ke Kanan): Hermanto, Irwan, Arifin

Taekwondo Indonesia, Dechin Club

9 Mei 2009

Interview with:

Arifin

Berdasarkan interview yang saya laksanakan pada hari Sabtu, 9 Mei 2009 bertepatan dengan Hari Raya Trisuci Waisak di Vihara Ekayana, Tanjung Duren - Greenville, berikut ini merupakan informasi yang saya peroleh mengenai Buddhisme:

Berkaitan dengan kasus Buddha Bar yang saat ini masih marak dibicarakan, Arifin berpendapat bahwa hal tersebut tidaklah pantas, karena menu yang disajikan di sana adalah makanan berdaging dan minuman beralkohol, dimana bertentangan dengan yang diajarkan di agama Buddha, sebisa mungkin menghindari makanan yang mengandung daging dan minuman yang dapat menghilangkan kesadaran. Mengenai mengapa tidak mau dipolitisi, Arifin berpendapat bahwa politik itu kotor, ”Jadi jika kita menyuruh salah satu pejabat untuk melobi, hal tersebut tidaklah baik, lebih baik melalui jalur hukum, jangan digembar-gemborkan, demo pun yang damai (ajaran Buddha). Hukum kita lemah, padahal jelas-jelas di luar negeri Buddha Bar dilarang, padahal di Indonesia ada Pancasila tetapi tidak konsisten dalam penerapannya,” ungkap Arifin. Dalam menanggapi kasus tersebut umat Buddha ada yang tidak mau ambil pusing (”biarin aja”), diambil segi positifnya saja.

Mengapa Biksu harus botak? ”Hal tersebut hanyalah sebagai simbol, melepaskan hal-hal duniawi,” tutur Arifin.

Umat Buddha banyak yang menggunakan gelang-gelang Buddha, ada yang terbuat dari kristal, giok, kayu, dsb. Gelang tersebut ada yang merupakan alat untuk berdoa seperti rosario, ada pula yang terbuat dari batu, sifatnya lebih ke metafisika, semacam sugesti, untuk kesehatan.

Ketika ditanya mengenai ‘Mengapa umat Buddha tidak mau open/memunculkan diri ke masyarakat, terutama dalam bidang politik?,” menurut Arifin, hal tersebut berkaitan dengan ajaran Buddha yaitu melepaskan diri dari hal duniawi atau menjauhi hal duniawi untuk mencapai kebebasan / pencerahan.

Memandang sekte-sekte Buddha yang banyak jenisnya, Arifin beranggapan bahwa pada dasarnya agama Buddha terdiri dari dua aliran utama, yaitu Theravada dan Mahayana. Mengenai perbedaan sekte, tidaklah masalah dan secara umum tidak ada ribu-ribut antar sekte, namun secara internal tidak tahu. Sebenarnya dasar dari sekte-sekte tersebut sama, dari ajaran Sidharta tetapi beda pengembangannya. Mengenai aliran yang agak menyimpang dari ajaran Sidharta, seperti biksu boleh menikah, hal tersebut biasanya dianggap sebagai aliran Buddha yang tidak Ortodoks, seperti kata Sanggha.

Menghadapi glamournya dunia, menurut Arifin yang terpenting adalah menahan/melatih diri, dari hal yang kecil-kecil. Buddha sudah memperkirakan bahwa manusia tidak akan lepas dari kefanahan duniawi dan hidup penuh dengan penderitaan. Dalam menjalaninya, umat Buddha hendaknya banyak berbuat kebaikan agar di kehidupan yang akan datang akan mendapatkan kharma yang baik. Bagi umat Buddha, kehidupan yang akan datang lebih penting daripada kehidupan sekarang.

Ajaran utama Buddha yang dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari Arifin yaitu Pancasila, isinya: melatih diri menahan hal-hal yang bersifat keduniawian, tidak membunuh, tidak berbohong, tidak bertindak asusila dan menghindari zat-zat yang bisa menghilangkan kesadaran.

Mengenai relasi dengan umat agama lain, menurut Arifin tidak ada batasan-batasan tertentu, semua agama mengajarkan hal yang baik.

Kegiatan sehari-hari yang dilaksanakan oleh Arifin sebagai umat Buddha, yaitu kebaktian, pindah pata (berbuat kebajikan terhadap para Banthe dengan cara memberikan sumbangan-sumbangan baik berupa uang, makanan, minuman, kebutuhan sehari-hari, dan lain sebagainya), dan donor darah.

Arifin juga sempat menceritakan mengenai hari-hari perayaan yang biasa dilakukan oleh umat Buddha, seperti Cheng Beng (ziarah ke makam leluhur, setiap tanggal 5 April) dan Thang Cheng (kalender matahari-ketika matahari mencapai bumi bagian barat/timur dari belahan dunia, setiap tanggal 22 Desember, dalam Buddha dikenal adanya kalender bulan dan kalender matahari), dan ternyata Waisak dirayakan selalu saat terjadi bulan purnama.


KUNJUNGAN KE VIHARA EKAYANA – MENGINTIP SELUK BELUK BUDDHISME DI INDONESIA





















Jumat, 05-02-2010 14:15:03

oleh: Gracia Emerentiana

Kanal: Gaya Hidup

www.wikimu.com


Pada hari Sabtu, tanggal 9 Mei 2009 bertepatan dengan Hari Raya Trisuci Waisak, saya berkunjung ke Vihara Ekayana –Greenville, sekaligus berniat mengikuti jalannya kebaktian Waisak (sambil meliput dan observasi).

Saya tiba di Vihara tersebut sekitar pukul 8, parkiran sudah penuh, jalan pun penuh dengan mobil. Lokasi parkir motor saya cukup jauh dari Vihara. Dari parkiran saya berjalan kaki ke Vihara, sesampainya disana ternyata di dalam Vihara sudah sangat dipenuhi umat, saya sampai antri panjang seperti kereta hanya untuk masuk ke dalam Vihara.

Di pintu masuk Vihara, oleh panitia Waisak dibagikan permen, buku puja bhakti (untuk kebaktian) dan kantong kresek hitam untuk membungkus alas kaki, karena di dalam Vihara tidak diperbolehkan menggunakan alas kaki. Saya bersama ketiga orang teman saya berjalan masuk ke dalam Vihara mengikuti rute yang dibuat dengan tali, hingga ke halaman belakang Vihara karena di bagian depan sudah penuh sesak, begitu pula dengan halaman belakang yang juga sudah sangat padat.

Kami berempat berdiri menunggu upacara dimulai. Cuaca sangat panas dan saya terkena sinar matahari langsung karena berdiri di pojok tenda hingga berkeringat. Kami berempat sampai-sampai menggunakan buku kebaktian sebagai kipas, dan sesaat setelah itu ada pengumuman bahwa umat dimohon untuk tidak menggunakan buku puja bhakti sebagai kipas, kami langsung tersenyum dan berusaha mendinginkan diri dengan cara lain.

Sambil menunggu, saya meliput kondisi di sekeliling saya sambil mengamat-amati, saya melihat bahwa umat Buddha 90% terdiri dari orang Tionghoa, dan saat itu mereka membawa amplop-amplop merah (angpao) dan ada pula yang membawa kardus-kardus berisikan makanan, minuman, odol, dan lain sebagainya. Panitia Waisak seluruhnya adalah anak muda.

Beberapa saat kemudian, berlangsunglah acara pindah pata, yang kata teman saya merupakan acara persembahan kepada para Banthe, dan saya mendengarkan dari pengumuman bahwa pindah pata merupakan kesempatan bagi umat Buddha untuk berbuat kebajikan. Pada acara tersebut, sebanyak 20 orang Banthe (biksu dan biksuni) berjalan beriringan membawa semacam mangkok besi berwarna emas, diikuti oleh panitia di samping setiap biksu yang membawa karung. Ternyata umat memasukkan persembahannya itu ke dalam mangkok emas tersebut, lalu dari mangkok emas tersebut dituang ke dalam karung-karung yang dibawa oleh panitia. Setiap Banthe diikuti oleh satu orang panitia yang berjalan di sampingnya dan membawa sebuah karung beras berwarna putih. Para Banthe yang berjalan dalam iringan tersebut berurut dari yang jabatannya paling tinggi hingga yang paling rendah, dan yang berada di barisan paling belakang adalah para bikkhuni, Banthe-banthe tersebut menggunakan pakaian yang berbeda-beda warnanya. Yang berwarna kuning maupun coklat biasanya berasal dari aliran Theravada dan Mahayana, ada pula yang berwarna merah yang berasal dari aliran Tantrayana (dari Tibet).

Selama menunggu acara dimulai hingga pindah pata berakhir, terdengar iringan lagu ciri khas Buddha, seperti yang di film-film tentang biksu-biksu shaolin. Namun, nyanyian selama kebaktian lebih mirip dengan lagu anak-anak maupun pop, lagu tersebut dinyanyikan oleh kelompok paduan suara yang terdiri dari anak-anak dan muda-mudi yang menggunakan seragam warna merah, mereka menyanyi di atas sebuah panggung yang terletak di depan gedung utama dengan diiringi permainan keyboard.

Mengikuti kebaktian di tenda banyak hambatannya, mulai dari panas kena sinar matahari, berkeringat karena tidak kena angin dari kipas angin, hingga TV dan speaker yang suka rusak (sering terjadi kesalahan teknis – mungkin karena kurangnya persiapan panitia).

Dalam kebaktian dikenal yang dinamakan sikap namaskara, yaitu cara penghormatan dengan bersujud, dimana dahi, kedua lengan, dan kedua lutut menyentuh lantai (sambil berlutut). Selama namaskara, dibunyikan lonceng sebanyak 3 kali kalau saya tidak salah ingat. Begitu pula pada saat acara persembahan, dilakukan namaskara baik oleh umat maupun oleh petugas persembahan. Persembahannya yaitu berupa air, buah, bunga, dan ada lagi yang lain (saya lupa). Selama persembahan, juga dibunyikan lonceng tiga ketukan. Dan setahu saya suara lonceng tersebut berasal dari semacam mangkok yang dipukul sehingga menghasilkan bunyi dentingan. Selain namaskara juga dikenal sikap anjali (merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada atau lebih tinggi seperti sikap doa), yang paling sering dilakukan. Dalam kebaktian ternyata ada pula momen ketika biksu berkotbah (seperti dalam agama Katolik ada Homili), yang dibicarakan mirip seperti dalam Homili (tidak berbelit-belit dan tentang ajaran Buddha). Selain itu, ada pula momen pemberkatan air dan pemercikan air kepada umat oleh para biksu (seperti pemercikan air dalam agama Katolik pada hari Minggu Palma maupun Sabtu Suci), namun bedanya yaitu air sucinya telah dicampur dengan bunga. Selama para biksu berkeliling untuk memerciki umat dengan air, umat berlutut sambil bersikap anjali. Disini saya merasakan sakitnya berlutut, dan ternyata yang tidak tahan berlutut bukan hanya saya (yang bukan beragama Buddha), namun teman-teman saya yang beragama Buddha ternyata juga tidak tahan.

Kebaktian umat Buddha berlangsung dengan sangat khusyuk. Doa dalam agama Buddha ternyata terdiri dari tiga bahasa, yaitu Pali (untuk aliran Theravada), Sansekerta (untuk aliran dari Tibet - Tantrayana), dan Koi (untuk aliran Mahayana). Doa tersebut diucapkan dengan suatu nada yang telah ditentukan (ada aturannya, ada yang pengucapannya panjang dan pendek) secara kompak oleh seluruh umat. Kebaktian hampir selesai, hanya tinggal menunggu jam puncak Waisak, yaitu pukul 11.10. Sementara menunggu, kami menyambut kehadiran Fauzi Bowo.

Fauzi Bowo datang bersama dengan rombongannya, yang salah satunya merupakan camat Tanjung Duren. Saat tersebut merupakan kedua kalinya saya bertemu dengan Fauzi Bowo. Ternyata Fauzi selalu datang ke Vihara Ekayana setiap tahunnya ketika hari raya Waisak, kecuali tahun lalu karena ada halangan sehingga Ia tidak dapat hadir. Dan ternyata Vihara Ekayana merupakan Vihara terbesar dan terbanyak umatnya seJakarta Barat, dan umat yang hadir pada saat Waisak tersebut mencapai 7000 orang, diketahui dari semua ruangan hingga halaman depan dan belakang yang ada di Vihara Ekayana penuh sesak oleh umat. Setelah kata sambutan dari panitia Waisak, kemudian dilanjutkan dengan pidato fauzi bowo soal pemilu, kemiskinan dan permasalahan yang ada di masyarakat di Indonesia, peran umat Buddha di masyarakat yang banyak berkarya membantu masyarakat yang berkekurangan seperti melalui bakti sosial dan donor darah, dll. Pidato selesai, dilanjutkan pemberian kenang-kenangan. Untuk Fauzi Bowo: lilin, sebagai lambang cahaya untuk menerangi dunia, diharapkan Fauzi dapat menjadi pelita bagi masyarakatnya. Kemudian untuk Kecamatan: tea pot naga- lambang kekuatan, 1 orang lagi: genta / lonceng – lambang apa gitu, saya lupa.

Setelah penyerahan kenang-kenangan kepada Fauzi Bowo, dilanjutkan dengan meditasi sambil menunggu jam puncak. Dalam agama Buddha, meditasi merupakan suatu kebiasaan dan keharusan, selama kebaktian umat melakukan meditasi sebanyak dua kali dan setiap meditasi berlangsung selama kurang lebih setengah jam.

Beberapa saat setelah jam puncak Waisak berlalu, terjadilah hujan yang sangat deras. Padahal, kebaktian belum selesai. Kami yang mengikuti kebaktian di halaman belakang tidak dapat melanjutkan karena selain TV yang digunakan untuk menyiarkan jalannya kebaktian mati karena terkena air hujan, begitu pula dengan speaker. Kejadian ini sangatlah tidak diduga akan separah itu karena sebelumnya hanya mendung dan gerimis saja. Namun terjadilah hal-hal tak diperkirakan sebelumnya, Pertama, air hujan bercampur angin sehingga nampes (mengenai kami yang duduk di tenda). Kemudian tenda bocor karena tenda tersebut bukan tenda untuk hujan, hanya tenda untuk panas. Hujan semakin deras, air yang membasahi lantai pun naik. Berikutnya terjadi aksi gulung tikar akibat banjir, namun semua umatnya saling membantu. Selain itu, semua umat akhirnya menyingsingkan lengan celana, agar tidak terkena banjir, dan banyak umat belum menggunakan alas kakinya. Umat hanya bisa berdiri diam menunggu hingga kebaktian di dalam Vihara selesai dan hujan mereda.

Selama kebaktian, banyak umat yang pulang terlebih dahulu sebelum kebaktian selesai (sebelum hujan terjadi). Ketika kebaktian berakhir, panitia membagikan makanan vegetarian kepada semua umat. Menu makanan tersebut berbeda-beda, ada yang menggunakan sayur brokoli, jamur shitake, gorengan isi wortel, ikan-ikanan dari tepung, dsb. Yang terpenting dalam penyajian makanan untuk umat yaitu aturan penataan makanannya, saya kurang mengerti mengenai urutan penataannya, namun terlihat rapi di dalam kotak makanannya. Kotak makanannya terbuat dari bahan yang ramah lingkungan, semacam karton (terlihat dari label safety environmentnya). Umat menikmati makanan tersebut biarpun makan sambil berdiri namun dinikmati bersama-sama dengan keluarga maupun teman-teman mereka (merasakan indahnya makan bersama) dengan membentuk lingkaran-lingkaran. Sehabis makan, di dekat kami ada panitia yang sudah menyediakan kantong-kantong sampah. Cara membuang sampah makanan yaitu dengan dipilah-pilah, dibedakan antara sendok, sampah organik (sisa makanannya) dan kotak makanannya.

Setelah selesai makan dan hujan mulai reda, saya ditemani oleh teman saya Arifin masuk ke dalam gedung utama Vihara, dan berkeliling-keliling, serta hingga sampai ke lantai paling atas di bawah kamar-kamar biksu. Kami berkeliling selain ingin tahu, juga mencari biksu yang bisa diinterview. Biarpun penuh sesak dan jalan pun sulit, namun saya senang berkeliling-keliling di sana karena banyak objek yang menarik, seperti patung-patung Buddha yang berkilauan seperti terbuat dari emas, foto-foto biksu (banyak yang menggunakan efek fotografi), foto biksu pertama di Indonesia (biksu tetua), semacam mangkok bertutup yang digunakan biksu untuk diketok ketika sembahyang, cawan tempat air suci dan bunga-bunga, dsb.

Ketika baru turun dari lantai atas, di lantai paling bawah saya bertemu dengan mantan Dekan saya (Dekan FALTL Universitas Trisakti), Prof. Soepangat, yang setahu saya beragama Hindu, namun tampaknya Beliau akan menemui Banthe karena Beliau diantar oleh banyak orang. Beliau merupakan orang yang sangat dihormati karena selain baik dan ramah, juga terkenal jenius dan telah menghasilkan banyak penemuan.

Berkeliling-keliling Vihara hingga Vihara semakin sepi dari umat, tampaknya semua biksu sedang sibuk dan akan tetap sibuk hingga sore, saya hampir menyerah. Akhirnya saya memutuskan menginterview Arifin terlebih dahulu. Kami berbincang-bincang di dalam Vihara hingga kemudian kami melihat seorang Banthe yang sedang nganggur dan sendirian, kemudian Arifin mendatangi Banthe tersebut dan meminta ijin agar saya bisa menginterview Banthe itu, dan langsung diijinkan, kemudian saya langsung memulai aksi sebagai reporter, menginterview Banthe tersebut.

Suasana interview tersebut berlangsung dengan sangat lancar, lebih seperti sedang berbincang-bincang dengan kawan. Banthe tersebut bercerita panjang seperti layaknya bercerita kepada seorang teman (panjang lebar, sangat jelas dan detail, padahal pertanyaan saya singkat-singkat saja, namun jadi semacam acara curhat..hoho), orangnya ramah. Kami berbincang-bincang di depan AC yang mengeluarkan udara dengan embun yang mengepul seperti udara di musim salju (terlihat warna putihnya), dan di dekat kami ada dupa yang dipasang, akhirnya karena tidak tahan perih mata saya menjadi berair (seperti menangis) dan saya mengelap mata berkali-kali. Selama kami berbincang-bincang, banyak umat yang memberikan salam dan ucapan selamat hari raya Waisak kepada Banthe. Umat Buddha memberi salam dengan menggunakan sikap anjali. Setelah selesai interview, Banthe baru ingat kalau Beliau mau pergi dan ada keperluan lain. Dan setelah saya selesai menginterview, saya baru tahu dari teman saya kalau Banthe yang saya interview adalah kepala biksu, dan saya baru ingat kalau itu adalah Banthe yang berada di baris paling depan ketika pindah pata.

Yang menjadi ciri khas dari umat Buddha adalah selalu menyalakan dupa di ruangan manapun mereka berada, dan bau dupa yang kuat menyebar hingga ke luar ruangan (di tenda halaman belakang pun tercium bau dupa). Observasi ini berjalan dengan lancar, kendalanya hanya sedikit dan saya juga nyaman-nyaman saja dengan suasananya (mungkin karena sebagian besar orang chinese seperti saya)... Pengalaman observasi di Vihara Ekayana ini merupakan pengalaman yang sangat menarik dan hasilnya juga cukup memuaskan dan membuat cukup lega.. hoh..