Eight Below

Eight Below

The Real World Adventurer..

"In this life, only the fool who always start the questions of life, moreover start their life mission and purpose of money. And once beginner ask where they get money, then they will be shackled by the constraints/obstacles. And almost certainly the answer is simply no money, can not and will not be" (Rhenald Kasali - Professor of University of Indonesia)

Friday, December 23, 2011

Catatan Sang Peneliti: Hari Kesembilan di Kalimantan Tengah..


Meninggalkan Pondok Ambung, terapung-apung di Sungai, nyaris ditinggal pesawat, terperangkap di Sampit.. (Senin, 7 November 2011)

Hari kesembilan, hari dimana aku harus meninggalkan Pondok Ambung, kemudian kembali ke Pangkalan Bun untuk presentasi di Balai, lalu langsung terbang menuju Sampit dan kembali ke Jakarta.. tentu saja, tidurku tak tenang.. ada rasa sedih karena harus meninggalkan hutan Kalimantan ini..

Aku bangun jam 3 pagi.. disengaja, karena aku berniat untuk menyelesaikan slide untuk nanti presentasi di balai.. sesuai janji, aku harus sudah tiba di Balai TNTP di Pangkalan Bun jam 9 pagi..

Selesai mengerjakan slide presentasi, aku memejamkan mata untuk tidur lagi.. dan, aku kemudian bangun lagi jam 5 pagi untuk mandi..

Selesai mandi, kulihat bang Awi sudah siap untuk segera berangkat.. aku tak membutuhkan waktu yang lama untuk berberes karena seperti biasanya setiap bepergian barang-barang yang kubawa tak pernah kukeluarkan dari dalam tas kecuali ketika perlu dikeluarkan untuk dipakai.. semua beres, aku langsung menggendong tas ranselku yang super berat itu ke pendopo..

Mas’ud sudah bangun dan berniat untuk ikut mengantarku ke Kumai.. Ari baru saja bangun dan belum sepenuhnya sadar, dan dia bertugas menjaga pondok..

Jam 6 pagi kami bertiga berangkat, sesuai rencana.. aku membawa pop mie yang sudah diseduh air panas untuk kumakan ketika di perahu.. perahu yang digunakan adalah perahu yang berukuran sedikit lebih besar yang baru saja diganti olinya kemarin, tapi namanya tetap saja alkon (perahu kecil).. Sambil makan mie, aku menikmati perjalanan terakhirku di Muara Ali.. 


Tak lama kemudian, mesin perahu dimatikan, ternyata ada pohon tumbang.. Pohon yang sangat besar menghalangi jalur sungai.. hanya perahu kecil yg bisa lewat dan itu pun harus  menyelip di antara tanaman rawa.. bang Awi berusaha menggerakkan perahu melewati pohon itu sambil menggunakan parang untuk memotong-motong dahan.. aku ngeri, takut kalau-kalau ada buaya yang ngumpet di rawa, di antara tanaman bakung.. untungnya perahu yang kami gunakan cukup kecil.. jika kelotok sudah pasti tidak akan bisa lewat, padahal ini satu-satunya jalur menuju Pondok Ambung dan Camp Leakey..


Berhasil melewati pohon tumbang, perjalanan pun dilanjutkan.. tak lama, perahu pun berbelok ke kiri dan warna air sungai berubah menjadi coklat, yang menandakan kami sudah keluar dari Muara Ali..


Dalam perjalanan, aku sempat melihat burung Rangkong dengan sangat jelas, bertengger di pohon di atas kepalaku.. ukurannya sangat besar.. burung itu ada yang menyebutnya kangkareng.. dan jenisnya serupa dengan burung Enggang yang menjadi simbol kebesaran Suku Dayak, jenis burung khas Kalimantan.. Rangkong yang kulihat bulunya juga hitam.. dan paruhnya berwarna putih.. sayang sekali perahu melaju dengan cukup kencang, sehingga aku tak sempat memotret burung itu..

Perahu terus melaju.. melewati dermaga yang kukira itu adalah Tanjung Harapan., dan ternyata itu adalah Pondok Tanggui, yang juga adalah Pusat Rehabilitasi Orangutan, sama seperti Camp Leakey..


Tak jauh setelah melewati Pondok Tanggui, tiba-tiba terdengar suara aneh dari mesin perahu yang kutumpangi.. dan bang Awi berteriak “Ahh!!”.. ternyata, mesinnya rusak.. ada pirnya yang lepas, entah di bagian mananya.. dan.. perahu pun berhenti di tengah-tengah sungai, tidak bisa jalan.. Kami pun akhirnya terapung-apung di sungai..

Bang Awi berusaha mendayung perahu.. dayung yang dibawa hanya ada satu.. dan setelah susah payah mendayung, akhirnya perahu tiba di sungai yang sudah terjangkau sinyal Hp.. bang Awi langsung menelepon saudaranya yang di Tanjung Harapan untuk memberikan pertolongan..

Perahu bergerak mengikuti arus.. Mas’ud iseng bermain dayung.. aku akhirnya bisa sms-an, setelah sekian lama.. hehe


Selama terapung-apung itu, banyak sekali kelotok turis yang lewat.. dan penumpangnya semuanya bule.. dalam satu kelotok hanya diisi oleh 1-2 orang bule.. kaya sekali mereka, padahal sewa kelotok seharinya 600 ribu, belum termasuk guide, makan, bensin, dll.. huehh.. para bule itu ramah.. mereka semua tersenyum dan melambaikan tangan kepada kami.. mungkin, dikiranya kami (termasuk aku) ini penduduk lokal yang bisa jadi bahan tontonan kali ya.. mereka tak tahu kalau kami sedang terapung-apung, dan kami butuh pertolongan..


Aku pun meng-sms pak Taufik untuk memberitahukan bahwa aku akan terlambat tiba di Pangkalan Bun karena perahunya rusak..

Tak terasa, sudah satu jam berlalu..  kemudian, akhirnya perahu penyelamat pun datang.. perahu kami lalu diikat dengan tali dan ditarik oleh perahu mereka, menuju ke Tanjung Harapan..


Dalam perjalanan, kami sempat melewati pos Pesalat, yang di depannya ada tulisan “tanaman obat endemik”.. tak ada tanda-tanda kehidupan di pos itu dan suasananya terlihat suram.. dari Mas’ud aku baru tahu ternyata itu adalah tempat orang yang hilang, seorang pegawai balai TNTP, putra Kalimantan, yang hilang 5 hari sebelum keberangkatanku ke Kalimantan.. aku sempat membaca beritanya di internet.. hingga hari ini, orang tersebut masih belum ditemukan.. kabarnya, kemungkinan ada roh halus di tempat itu.. hingga tim ACI pun tidak jadi berkunjung ke tempat itu dikarenakan takut akan terjadi apa-apa..

Kemudian, kami melewati Hotel Rimba.. hotel di tengah hutan bernuansa alami, terbuat dari kayu-kayu, milik orang Australia dan tamunya pun bule-bule.. hotel itulah yang sempat menarik perhatianku ketika aku mencari informasi penginapan sebelum berangkat ke Kalimantan.. harganya dulu paling murah USD30 per malam, sekarang tidak tahu berapa.. tapi, hotel itu selalu full-booking..hebat!


Dan, setelah melewati rumah-rumah terapung di tepi-tepi sungai, atau lebih tepatnya rumah panggung, dari kejauhan tampaklah sebuah desa.. itulah desa Tanjung Harapan..


Yang membuatku bingung, di situ terdapat tulisan “Welcome Sei Sekonyer”.. lha, ini desa Sei Sekonyer atau desa Tanjung Harapan toh?


Sambil menunggu perahu gantinya, aku melihat-lihat sekitar.. aku menghampiri tempat Mas’ud dan bang Awi duduk-duduk.. 


ternyata itu adalah tempat dijualnya souvenir, dan di atas pondoknya ada tulisan “Tanjung Harapan”.. wah ternyata benar ini desa Tanjung Harapan.. 


sayangnya, toko souvenirnya sedang tutup.. dari balik kaca, kulihat ke dalam.. ada banyak sekali ukir-ukiran pahatan kayu..


Setelah melihat-lihat, kami kembali ke tempat semula, di pintu masuk desa.. menunggu.. 


kulihat ada 2 ekor anjing.. lucu juga.. Ada kakak-kakak kandungnya bang Awi.. kemudian bang Awi datang, membawa sekantong Okky Jelly Drink dan wafer Tango strawberry..

Tak lama kemudian ada kelotok bule mampir, dan bule-bule itu masuk ke dalam desa, dipandu oleh seorang guide..


Lalu Hp seorang anak bernama Sandy tercebur ke dalam sungai.. bang Awi pun langsung melepaskan pakaiannya dan menyelam, mencari Hp itu.. Hp itu berhasil diselamatkan.. Hp cina tapi hebatnya masih menyala ketika bang Awi mengambilnya dari dalam sungai..

Aku sudah pasrah mengenai jadwal presentasi.. aku sudah terlambat sejam..

Di seberang desa Tanjung Harapan juga ada dermaga.. menurut dugaanku, itu adalah Resort Tanjung Harapan, masuk dalam kawasan TNTP, yang ada wisma tamunya.. aku jadi penasaran, tapi sayang tidak akan sempat untuk mampir ke sana..


Kemudian, kami melanjutkan perjalanan.. berangkat ke Kumai dengan menggunakan perahu yang tadi menarik perahu kami yang mogok, perahu yang terbuat dari kayu ulin.. ditemani anak yang tadi Hpnya tercebur ke sungai, yang bernama Sandy, dia duduk di bagian depan perahu..

Perjalanan ke Kumai cukup jauh.. perahu berbelok ke kanan dan ke kiri berkali-kali.. di sepanjang sungai tampak tanaman yang serupa dengan sawit, kalau tidak salah namanya Nipah.. sungai tampak semakin lebar, suasana di tepian sungai juga asri.. awan terlihat indah.. butiran-butiran air sungai yang terciprat ke atas juga tampak indah..


Lalu, di ujung sungai tampak perairan yang luas seperti laut.. ada belokan ke kanan dan kiri.. juga mulai terlihat kapal-kapal tanker.. dari situ aku tahu bahwa Kumai sudah dekat.. tapi aku cukup ngeri, menggunakan perahu kecil di tengah perairan yang luas ini..


Akhirnya, setelah melewati kapal-kapal tanker, kami pun tiba di pelabuhan Kumai.. jam menunjukkan sudah jam setengah 10.. well, aku tak tahu akan tiba di balai jam berapa.. rasa-rasanya tak akan sempat presentasi, mengingat jadwal penerbangan pesawatnya jam 12..


Perahu ditambatkan di tepi dermaga.. aku yang terlebih dulu naik, dan ternyata mereka masih mencari parkiran yang pas untuk perahu itu.. 


sambil menunggu mereka, aku mengamati sekeliling.. selain kapal-kapal tanker, juga ada kelotok-kelotok yang diparkir.. dan terlihat juga beberapa speedboat yang lewat.. kupikir, pantas saja banyak sekali tawaran kerja untuk bidangku di Kalimantan.. ternyata, di sini pusatnya untuk offshore.. 


Lalu, aku melihat di dekat dermaga ada sebuah bangunan, tempat singgah sementara untuk pengunjung.. 


juga ada sebuah plang yang ternyata plang bertuliskan selamat datang dan terima kasih telah mengunjungi Taman Nasional Tanjung Puting..


Di pendopo di tepi dermaga, ada seorang bapak yang mengajakku bicara.. beliau langsung menanyakan “habis penelitian ya?” dan kubilang iya.. apakah tampangku adalah tampang seorang peneliti? Seru juga kalau begitu..hoho.. mungkin juga karena tidak menggunakan kelotok, jadi terlihat jelas bahwa aku bukanlag turis yang datang dengan tujuan untuk sekedar berlibur..

Kulihat perahu sudah selesai diparkirkan, dan mereka pun naik ke dermaga.. kususul dari sisi berlawanan.. dan, di dinding bangunan di dekat dermaga, terpampang spanduk berukuran besar berisi foto King of Camp Leakey.. wah, ternyata untuk jadi “King”nya hutan pun ada periode jabatannya.. haha


Ternyata, di situ juga ada kantor Balai TNTP.. sama-sama berwarna hijau, serupa dengan yang di Pangkalan Bun..



Berikutnya, aku bingung harus naik apa untuk bisa ke Pangkalan Bun.. tak tampak adanya Taksi yang lewat.. tukang ojek, entah ada dimana.. Mas’ud dan bang Awi pun juga tak tahu.. mereka hanya berdiri di samping pagar di tepi jalan, tak tahu harus apa..

Lalu aku pun kembali ke dermaga, ke pendopo yang tadi tampak banyak orang yang kukira salah satunya adalah tukang ojek.. aku menanyakan kepada seorang bapak, dan ternyata mereka tidak tahu.. akhinya bapak itu mau mengantarkanku sampai ke balai.. katanya mau ambil helm dulu, dan ganti uang bensin saja.. bapak itu ternyata kenal dengan bang Awi..

Dari bang Awi aku baru tahu ternyata bapak itu adalah Guide TNTP.. dan beliaulah yang mengantarkan tim ACI berkeliling di TNTP..

Sang bapak akhirnya datang, aku pun berpamitan kepada Mas’ud dan juga bang Awi.. lalu langsung melaju ke Pangkalan Bun.. aku cukup khawatir akan tiba dib alai jam berapa, tampaknya akan mepet sekali dengan jadwal penerbangan pesawat.. dan, aku pun tiba di balai TNTP Pangkalan Bun jam 11 siang..

Aku langsung bergegas masuk ke balai, menemui pak Taufik dan pak Toto.. dan ternyata, masih disuruh menunggu pak Gunung, si kepala balai yang entah ada dimana.. Kulihat jam, sudah jam setengah 12 dan pak Gunung tak juga datang.. Jam 12 kurang 20 menit akhirnya pak Gunung datang setelah dijemput oleh pak Taufik.. aku sangat khawatir akan ketinggalan pesawat.. belum lagi pak Gunung meminta macam-macam hingga aku harus menyalakan laptopku lagi.. aduhhh.. bagaimana nasibku ini.. ke Sampit kalau jalan darat membutuhkan waktu 8 jam.. oh, God! Aku bisa ketinggalan pesawat kalau begini..

Perbincangan dengan pak Gunung berlangsung singkat, dan aku pun dengan segera diantarkan si bapak Guide yang tadi mengantarkanku, menuju ke bandara..

Aku tiba di bandara 10 menit sebelum pesawat berangkat, hingga akhirnya petugas bandara mengubungi sang pilot untuk menungguku.. aku langsung berlari setelah selesai check-in, naik ke pesawat.. dan tangga pesawat langsung diminggirkan dan pintu pesawat ditutup.. pesawat pun lepas landas menuju Sampit..

Kupikir, ini gilaa.. sungguh hari yang gila.. ketika di pesawat, nyawaku masih belum sepenuhnya terkumpul.. aku juga masih ngos-ngosan.. sambil tak percaya aku sudah pergi meninggalkan Pangkalan Bun..

Aku duduk di bangku di depan tempat dudukku seharusnya dikarenakan di tempat dudukku itu si bule dan pendampingnya asyik ngobrol hingga memenuhi tempat duduk yang tersedia..

Aku duduk di samping jendela, sambil menatap lekat-lekat ke bawah.. tampak sungai meliuk-liuk.. mungkin itu Sungai Ssekonyer, atau mungkin bukan.. uuh, sampai 9 hari pun aku masih belum bisa membedakannya..


Setengah jam kemudian pesawat mendarat di bandara H. Asan Sampit.. akhirnya, aku merasakan menginjakkan kaki di Sampit.. kali ini aku benar-benar transit, dan ada selang waktu sekitar 4 jam hingga jadwal penerbangan berikutnya ke Jakarta..


Aku berniat berjalan-jalan di sekitar bandara, tapi tak tampak ada tempat yang bisa dikunjungi.. akhirnya, aku masuk saja ke bandara untuk mencari makan.. tapi ternyata, makanan di Cafeteria sudah habis.. uhh, aku sudah lapar.. belum lagi perutku tegang karena tadi syok dengan kejadian-kejadian yang berlangsung dengan sangat cepat yang kualami hari ini.. di samping Cafeteria ada kios makanan ringan.. kubeli kerupuk Amplang 2 bungkus besar dan 1 bungkus kecil untuk oleh-oleh.. lalu aku juga membeli keripik singkong untuk cemilanku.. kukira, tidak disediakan makan siang dari pesawat.. jadi kemudian aku memutuskan untuk makan pop mie saja yang air panas untuk menyeduhnya kuperoleh secara cuma-cuma dari ibu pemilik Cafeteria..

Selesai makan, kuperiksa bukti-bukti pengeluaran yang kumasukkan ke dalam tas secara asal-asalan.. dan, tiket pesawat elektronikku untuk pulang tampaknya tertinggal di bandara Pangakalan Bun.. aku pun langsung beranjak ke pusat informasi, mengurus tiket untuk nanti terbang ke Jakarta.. dan ternyata, aku diberi makanan.. ternyata dari maskapai pesawatnya menyediakan untuk makan siang.. aku juga meminta ijin untuk jalan-jalan keluar.. aku pun pergi ke luar setelah meninggalkan nomor Hpku dan menitipkan tas ranselku..

Di depan bandara, ada sebuah banner bertuliskan “Selamat datang di kota Sampit”.. wah, aku sudah berada di Kabupaten yang berbeda.. bukan lagi Kotawaringin Barat, tapi sudah di Kotawaringin Timur..


Kemudian aku meneruskan perjalanan ke pintu keluar bandara.. di pintu itu ada pos jaga, dan seorang bapak yang bertugas di situ memanggilku, menanyakan kepadaku aku mau kemana.. kubilang padanya aku mau jalan-jalan di sekitar situ saja.. dan beliau menyarankan aku untuk naik ojek ke tengah kota..

Awalnya aku tidak mau, dan hanya berjalan-jalan di pinggiran bandara.. kulihat si bule yang tadi sepesawat denganku sedang nongkrong di warung dekat pintu bandara.. aku lalu meneruskan berjalan kaki, dan ada ojek yang lewat.. tukang ojek itu menawarkan ojeknya, dan kutanyakan di Sampit ini paling enak berkunjung kemana, dan katanya ke alun-alun kota saja.. ongkosnya 10 ribu.. ok lah, kupikir tidak mahal..

Si bapak ojek banyak mengobrol denganku.. orangnya ramah dan ternyata orang asli Sampit.. motor melaju dengan kecepatan sedang, dan juga halus.. melewati jalan berkelok-kelok dan rumah-rumah penduduk.. tak lama kemudian, tibalah aku di alun-alun kota Sampit..


Alun-alun kota Sampit hanyalah sebuah taman.. dengan sebuah tugu di bagian tengahnya, dilengkapi mainan anak-anak dan juga rumah burung.. aku memutuskan untuk makan siang dulu di tempat duduk yang tak jauh dari rumah burung, sambil mengamati sekitar..


Selesai makan, aku masih lapar dan juga ingin yang segar-segar.. kulihat di dekat tama nada banyak orang berjualan, salah satunya adalah warung es buah.. aku langsung memesan semangkok es campur.. segar sekali.. rasanya seperti sudah sangat lama aku tak makan es campur.. di Pangkalan Bun lebih susah untuk mencari makanan enak dibandingkan dengan di Sampit..


Es campur yang segar, membuat tenagaku pulih kembali.. lalu aku berkeliling di sekitar taman.. kutemukan sebuah Museum Kayu yang terletak di seberang taman.. 



dan, didepannya terdapat sekolah-sekolah Katolik, juga klinik Katolik.. aku jadi senang karena banyak yang berbau Katolik di kota ini..




Kemudian ada becak lewat.. lumayan juga transportasi di Sampit ini, tak sesulit di Pangkalan Bun..


Kulihat jam, sudah jam setengah 3, saatnya kembali ke bandara.. petugas bandara berpesan padaku untuk kembali paling tidak sekitar jam 3.. yang jadi masalah berikutnya, aku bingung mencari ojek..

Setelah menyusuri taman, dan juga melewati hiasan taman seperti patung totem, 


aku menemukan 1 ojek.. sebelumnya, kulihat ada Tugu Adipura 


dan juga gereja yang entah Katolik atau Kristen..


Ketika itu sudah mulai gerimis.. dan ojek yang kudatangi meminta tarif yang mahal, 20 ribu, yang berarti 2 kali lipat dari ojek yang tadi mengantarkanku dari bandara.. kubilang tadi aku naik ojek hanya 10 ribu, kenapa jadi 20 ribu.. dan tukang ojek itu mengatakan, ke bandara memang lebih mahal dan tak bisa ditawar.. tampaknya dia orang batak.. saku cukup sebal, hanya saja aku terpaksa karena tak tampak ada ojek lainnya..

Di tengah perjalanan, tiba-tiba hujan menjadi deras.. namun aku meminta tukang ojek untuk tak berhenti dan melanjutkan perjalanan ke bandara, mengingat waktu yang sudah mepet..

Akhirnya, aku masuk ke dalam bandara dengan tubuh basah.. bajuku basah dari atas sampai bawah, tapi entah kenapa udara terasa panas..

Aku mampir ke bagian informasi, dan si mas nya yang mengingatku berkata “sudah?” dan aku mengangguk,, lalu mengambil tas ranselku di bagian scanning tas.. lalu masuk ke ruang tunggu di bagian dalam.. aku duduk tepat di depan AC untuk mengeringkan bajuku.. tapi, bajuku tak kering-kering juga, hingga aku mulai merasa kedinginan.. dan aku pun kemudian mengganti jaketku.. untungnya aku membawa 2 jaket.. hanya saja, celana jeansku tetap basah karena susah dan malas untuk menggambil gantinya dari dalam tas..


Hingga waktu keberangkatan tiba, hujan deras tak juga reda dan pesawat yang ditunggu juga belum tiba.. kemudian terdengar pengumuman bahwa karena cuaca buruk maka penerbangan dibatalkan.. aku hanya bisa bengong, tak percaya dengan apa yang kudengar barusan.. kemudian aku mengikuti penumpang lainnya keluar, ke bagian informasi.. dan ternyata benar, penerbangan dibatalkan.. lalu, bagaimana nasibku??? Besok aku harus masuk kerja..

Pihak maskapai di bagian informasi memberikan 2 pilihan, yaitu uang tiket dikembalikan full dan aku bisa mencari maskapai penerbangan lainnya.. atau pilihan kedua, menginap di hotel yang disediakan oleh maskapai dan ikut jadwal penerbangan besok sorenya, itu pun jika cuaca tidak buruk lagi..

Bukan hanya aku yang bingung, tetapi juga bule yang tadi yang ternyata adalah seorang duta besar.. besoknya dia harus segera ke kedutaan.. dan si mas pendampingnya itu sibuk protes.. mereka bilang kepadaku bahwa mereka akan kembali ke Pangkalan Bun dengan Travel kemudian naik pesawat Trigana Air.. kupikir, perjalanan ke Pangkalan Bun lumayan, bisa 8 jam.. sedangkan hari sudah sore, sama saja tiba malam hari dan baru bisa berangkat dengan Trigana Air siangnya.. mencari maskapai lain pun tak ada.. di Sampit hanya ada Merpati dan Kalstar.. Merpatinya pun tak jelas jadwal penerbangannya.. kutanyakan kepada kedua orang tuaku via telepon dan mereka bilang aku sabar saja, dan kemudian aku memutuskan untuk menginap..


Beberapa saat setelah selesai melayani semua penumpang yang protes, pihak Kalstar menyediakan mobil untuk ke mengantarkan ke Hotel.. aku semobil dengan satu keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan anaknya laki-laki yang kira-kira seumuranku atau lebih muda..


Kami melewati sebuah jembatan di atas sungai.. aku tak tahu itu sungai apa, tapi tampaknya pelabuhan karena terlihat banyak kapal yang melewatinya.. pemandangan malam hari di sungai itu sungguh keren.. lampu-lampu kapal memberikan keindahan tersendiri..

Kota Sampit tak begitu menyenangkan, tak seindah dan serindang kota Pangkalan Bun.. setelah melalui jalan berkelok-kelok dan rumah-rumah penduduk, kami pun tiba di hotel.. hotel itu suram dan tak menarik.. Hotel Borneo Putra 2.. aku mendapat kamar paling ujung yang terpencil sendiri di bawah tangga.. sebuah kamar yang cukup besar, dengan ranjang double bed dan kamar mandi di dalam.. ada TV, tapi tidak ada colokan listrik.. juga agak jorok, ada asbak penuh rokok yang tidak dibersihkan, juga tidak ada tempat sampah… belum lagi kunci pintunya yang agak keras.. umm, masih lebih nyaman di hotel Abadi biarpun kamarnya lebih kecil..


Akhirnya, bertambahlah satu malamku di Kalimantan.. malam kesembilan, kuakhiri dengan menonton TV, tetap di saluran Sky Drama 1 (Skynindo)..

1 comment:

  1. Wow, perjalanan yag sgt mengasikan tu..:)
    slm blogger pangkalan bun (http://dakobar.blogspot.com/)

    ReplyDelete