Eight Below

Eight Below

The Real World Adventurer..

"In this life, only the fool who always start the questions of life, moreover start their life mission and purpose of money. And once beginner ask where they get money, then they will be shackled by the constraints/obstacles. And almost certainly the answer is simply no money, can not and will not be" (Rhenald Kasali - Professor of University of Indonesia)

Tuesday, December 6, 2011

Catatan Sang Peneliti: Hari Keempat di Kalimantan Tengah..

Saatnya menjelajah ke daerah Konflik.. (Rabu, 2 November 2011)

Hari ini tidurku tak nyenyak.. semalam aku tidur cukup malam, sekitar jam 10 lewat hampir jam 11 malam.. lalu aku bangun (yang benar-benar bangun, di luar kegelisahan selama tidur, mengikuti jam weker) jam 4.20.. rencananya aku mau ke greja lagi hari ini.. lalu fotocopi kuesioner dan membeli souvenir lagi.. setelah itu bersiap untuk pergi ke balai.. entah apakah ojek mampu mengantarku yg membawa ransel super besar ini.. dan sms dari mamaku mengingatkanku bahwa hari ini adalah hari ulang tahun nenekku yang di Surabaya (Mak Eti) dan juga teman kecilku dari Malang (Carolin)..aku pun segera menelepon dan mengirimkan sms ucapan kepada mereka..

Dan.. akibat kelamaan ngetik catper ini dan mandiku ternyata lama, jadinya sudah ga keburu ke greja, sekarang sudah jam 5.26.. T.T ya sudahlah kapan-kapan smoga aku bisa berkunjung ke greja itu lagi.. sekarang hanya bisa menunggu waktu, menunggu makan pagi, menunggu toko souvenir dan tempat fotocopi buka.. beres-beres sudah hampir selesai.. tegang juga.., fiuh.. smoga hari ini hingga sabtu nanti berjalan dengan lancar, untuk kami semua yang penelitian di sini.. smoga senin bisa pulang ke Jakarta dengan selamat dan sehat, dan kemudian berteriak “I’m home!!!”

Jam 6 lewat room service datang, mengantarkan breakfast nasi goreng saos pedas dengan kerupuk dan juga telur rebus setengah butir..karena sebelumnya aku menghabiskan pecel ayam, makanan tadi malam yang belum habis, akhirnya aku sedikit kekenyangan.. jadi aku baru makan sekitar jam 7 kurang 15, perlahan-lahan berusaha menghabiskan makanan sambil menonton film di sky drama 1.. lama kelamaan aku jadi terbiasa menonton film-film seri itu dan ceritanya bagus-bagus juga.. jadi penasaran dengan kelanjutan-kelanjutannya.. sayangnya, aku hari ini harus segera  check out dr hotel.. :(


Jam 7, selesai makan dan beres-beres, aku turun menanyakan ke resepsionis fotocopian mana yang terdekat dan sudah buka, dan katanya rata-rata baru buka jam 7, begitu pula dengan toko souvenir.. tapi aku nekad keluar hotel, berjalan memutar ke arah pasar sambil mengharapkan keberuntungan menemukan toko yang rajin buka pagi,, dan ternyata yang rajin hanyalah toko pakaian dan toko sparepart motor dan mobil.. :( sayang,, padahal aku mau membelikan souvenir tambahan untuk malaikatku, gantungan kunci burung Enggang yang merupakan ciri khas Kalimantan dan burung tersebut adalah lambang kesetiaan..

Tak mendapat hasil, aku pun kembali ke hotel, menonton film lagi.. mendapat sms dari Pak Sahidin yang katanya ketemu di Balai jam 8an saja.. jadi aku agak bermalas-malasan untuk segera check-out dari hotel.. baru kemudian sekitar jam 8 kurang 15 barulah aku mematikan TV dan AC  lalu membawa barang-barangku ke bawah untuk check-out.. sedih rasanya, kenyamananku sebentar lagi tak akan kurasakan..

Aku pun turun ke resepsionis untuk check-out dan dibantu memesankan ojek oleh seorang bapak.. ternyata tukang ojek dan si bapaknya itu adalah orang jawa, ketahuan dari bahasa yang mereka gunakan untuk ngobrol.. huehh.. jauh-jauh ke Kalimantan malah banyaknya nemu orang jawa.. dari supir taksi, orang Balai, penjual pecel ayam hingga tukang ojek.. ckckck..

Kemudian aku diantar ojek hingga kantor Balai TNTP dengan ongkos 20 ribu..dan ternyata pak Sahidin belum datang.. 


lalu aku ke rumah Bupati saja untuk memotret bangunannya, 


juga memotret Supermarket Borneo yang ada di depan Balai dan kemudian segera kembali ke Balai..


Hingga beberapa saat lamanya aku merenung duduk di tangga depan balai sambil mendengarkan lagu, barulah motor pak Sahidin lewat menuju parkiran.. lama sekaliiii..

Motor pak Sahidin ternyata bagian belakangnya adalah tempat untuk tas, dan jenis motornya adalah motor laki-laki, sehingga cukup menyulitkanku untuk membawa tasku yang besar itu.. Awalnya tasku itu digendong oleh pak Sahidin di bagian depan tubuhnya setelah aku selesai mampir fotocopi kuesioner.. dan itu ternyata membuatnya pegal karena beban tas ranselnya menopang di bahunya, selain itu beliau juga jadi kesulitan untuk membawa pistolnya.. ukuran tasku masih lebih besar dari badannya.. aku sempat berpikir “seru juga ya di sini bisa ngerjain Polhut..wkwkwk”..

Lalu akhirnya di sebuah jalan perkebunan sawit, motor pun dihentikan, selain untuk istirahat juga untuk memberikanku kesempatan memotret.. 




Disitulah kami banyak berbincang-bincang.. beliau sempat menanyakan kepadaku “capek ga?” dan kujawab “tidak, udah biasa”.. dan beliau pun bingung.. tak aneh, menurutku medannya masih jauh lebih baik dibandingkan ketika aku di Pandeglang dulu yang jalurnya sangat terjal dan panjang, juga berbatu-batu yang membuat sulit mengendarai motor dan pantat pun menjadi gatal-gatal karena terlalu banyak getaran.. sedangkan di Kalimantan ini hanyalah jalur tanah tanpa aspal biasa.. cukup baik tanpa lubang-lubang dan batu-batu juga kering karena sedang tidak hujan.. jika hujan, lumpur kuninglah yang biasanya membuat kendaraan terperosok..

Lalu setelah cukup hilang capeknya, kami melanjutkan perjalanan lagi.. dan setelah beberapa saat, kami mampir ke rumah teman pak Sahidin yang juga polisi hutan.. lagi-lagi orang jawa.. wew..  Di rumahnya kami disuguhi teh manis hangat.. dan selama mampir, sambil menunggu pak Sahidin, aku berputar-putar di depan rumahnya selain untuk menghindari asap rokok, juga untuk mengamati kondisi sekeliling.. di tempat itu hanya ada sawah berukuran kecil.. kurang asri menurutku.. selain itu dimana-mana banyak sekali semut berukuran besar yang menyebabkan aku tidak bisa duduk di batu..


Selesai berbincang dan melepas lelah, kami melanjutkan perjalanan.. suasanan jalan berubah menjadi jalan pasir yang gersang..


dan kami berhenti di sebuah warung tempat menjual bensin.. dan saat pak Sahidin mengisi motornya dengan bensin, aku mengamati sekitar.. suasananya mengingatkanku pada Pulau Pari.. ada pondok dan juga jalan berpasir.. jadi kangen ingin ke sana lagi..


Selanjutnya, perjalanan penuh debu selama sekitar sejam pun berlangsung.. kemudian kami memasuki areal perkebunan kelapa sawit.. jalurnya cukup sulit, tidak ada aspal dan penuh dengan jalan berlumpur kuning.. ternyata jenis tanah di Kalimantan adalah pasir liat, dengan demikian lumpur yang terbentuk adalah lumpur kuning..


Cukup lama kami melewati perkebunan kelapa sawit.. daerah tersebut sangat luas dan kulihat ada plang beberapa perusahaan kelapa sawit..

Sekitar sejam kemudian, tampaklah sebuah padang rumput.. dan disitulah pak Sahidin menghentikan motornya sejenak untuk beristirahat dan merokok sebelum kembali melanjutkan perjalanan.. katanya itu sudah dekat, tinggal melewati padang rumput dan sampailah ke daerah tambang pertama, yaitu Desa Banit..


Beberapa saat kemudian, perjalanan dilanjutkan.. dimulai dari jalan berlumpur kuning, melewati padang rumput.. dan ternyata pak Sahidin kurang ahli mengendalikan motornya hingga aku yang memegangi tasku dari belakang.. jalan itu sungguh licin dan aku takut terjatuh dari motor karena motor tersebut sempat beberapa kali terpeleset ke kiri dan ke kanan.. sungguh perjuangan..


Setelah melewati padang rumput, sampailah ke Desa Banit.. tampak daerah tersebut seperti padang gurun, dan kondisi itu makin menyulitkan pak Sahidin untuk mengendarai motor hingga motornya sempat kudorong, banyak jalur terendam air.. dan di akhir perjalanan, aku turun dari motor dan berjalan kaki ke pondokan penambang liar sementara pak Sahidin tetap dengan susah payah mengendarai motornya ke pondok..


Desa Banit ini tepat bersebelahan dengan Desa Hampalam yang menjadi sasaran utama penelitianku.. ketegangan pun merasuki perasaanku.. aku sempat bertanya-tanya “apakah tidak apa-apa aku datang kesini? Karena katanya para penambang liar itu sangat paranoid dan waspada dengan orang lain slain penambang.. bagaimana jika mereka melihatku, apakah akan terjadi sesuatu?” dan ternyata aman-aman saja, mereka juga ramah-ramah saja dengan pendatang sepertiku.. tapi mungkin di Hampalam kondisinya akan lebih panas, karena disitulah daerah konflik..

Di sebuah pondok, pak Sahidin memarkirkan motornya dan juga meletakkan tasku disitu.. awalnya sempat kukira disitulah tempatku “mangkal” selama tiga hari ke depan.. dan ternyata bukan.. Pak Sahidin mencari dan menunggu pak Udin yang akan mendampingiku nantinya..

Selama pak Sahidin asyik mengobrol dengan polhut yang lainnya di sebuah pondok, aku berkeliling dan mengamati sekitar.. 


Pondok itu tak jauh dari sungai dan di seberang sungai itu tampak hutan rimba yang tak lain dan tak bukan adalah kawasan Taman Nasional Tanjung Puting.. Aku pun terkesima dan mendekat ke tepi sungai, tapi tak berani benar-benar di tepinya karena aku khawatir ada buaya..


Kondisi daerah tambang itu sangatlah panas.. kulitku dengan cepat memerah terbakar teriknya matahari.. kuamati tidak ada pohon disitu, benar-benar padang pasir.. aku heran mengapa bisa ada orang-orang yang bertahan hidup di daerah dengan kondisi seperti itu..

Lalu dari arah sungai yang masih dikelilingi oleh tumbuhan-tumbuhan merambat hutan, tampak sebuah perahu kecil mendekat.. ada seorang bapak di perahu itu yang memanggil-manggilku.. aku bingung apa katanya, jadinya aku hanya menggeleng-gelengkan kepala.. aku tak mau mendekat ke sungai, aku takut buaya.. >.<


Dan ternyata bapak itu adalah pak Udin.. beliau memarkirkan perahunya di tepi sungai dan segera ke pondok tempat pak Sahidin berada setelah sekilas ngobrol denganku.. kata pak Sahidin ternyata benar, pak Sahidin menggunakan bahasa yang agak melayu, juga agak “lemot” mencerna perkataan kita..

Mereka berbincang-bincang masih di pondok polhut, dengan merokok.. oleh karenanya aku menjauh dan duduk di depan pondok tempat motor pak Sahidin di parkirkan.. sambil berteduh dari panasnya matahari, kuamati aktivitas para penambang liar itu.. ada seorang ibu yang mukanya hingga penuh dengan pasir..


lalu di kubangan, seorang bapak berkali-kali terjun ke air, menyelam untuk memperbaiki Lanting (alat untuk menyedot pasir) yang mesinnya mogok karena tersangkut.. benar-benar tidak sehat.. kalau begitu selain masuk angin, demam juga bisa terkena penyakit kulit bahkan kanker kulit.. yang kurasakan  selain bising karena suara mesin, juga tercium bau udara yang tidak segar, mungkin itu akibat proses pengambilan pasir dan penyaringan pasir..


Alat-alat yang digunakan untuk menambang cukup sederhana.. dengan alat seperti itu bisa menyaring emas dan juga pasir zircon yang biasanya digunakan sebagai bahan baku untuk membuat keramik..

Seorang bapak Polhut yang satunya sempat menjelaskan kepadaku mengenai prosesnya.. dan ternyata pasir zircon juga tak semudah itu didapatkan dari tumpukan pasir, apalagi emas.. wah, pekerjaan yang sulit dan hasilnya juga tak seberapa..dalam sehari belum tentu mereka berhasil memperoleh pasir zircon apalagi emas.. alamnya sudah jadi benar-benar rusak, dari hutan berubah menjadi padang gurun.. dan tempat tinggal mereka sungguh tak layak.. tapi entah mengapa mereka tetap bertahan melakukan pekerjaan itu.. itulah yang harus kuteliti..


Kemudian, tiba saatnya aku diantar ke pondok pak Udin di Desa Aspai.. untuk ke sana terpaksalah aku naik perahu melalui jalur sungai, dengan perahu kecil yang tadi digunakan oleh pak Udin yang hanya muat maksimal 3 orang saja.. deg-degan tapi senang.. aku hanya takut kalau-kalau bertemu buaya.. apalagi perahu itu sangat kecil.. batas perahu dan air sungai hanya sekitar 10 cm.. ketika dijalankan, cipratan air sungai masuk ke dalam perahu.. wah, sungguh mengerikan.. sekali mesinnya mati, lalu perahunya bocor, atau ada yang bergoyang sedikit, tamatlah sudah riwayatku.. bisa berenang pun juga percuma karena lawannya adalah buaya yang katanya berukuran 6-10 m.. 





Kami naik perahu bersama seorang bapak lagi yang membawa parang, lalu kami mampir di Pos Kole, yaitu pos jaga Taman Nasional Tanjung Puting yang terletak di tepi kawasan Taman Nasional tepat di tepi sungai Kole..





Awalnya aku mau menginap di pos itu tapi tidak jadi karena di pos itu sedang ramai dengan para TNI yang berjumlah 9 orang yang ditugaskan untuk program reboisasi dan juga ada beberapa belas pegawai lainnya yang membantu.. di pos itu si bapak yang membawa parang turun, dan digantikan oleh anak pak Udin yang masih SD.. aku sempat diajak mampir masuk ke pos oleh salah seorang TNI, tapi aku malas turun dari perahu karena sulit untuk memposisikan duduknya lagi nanti.. perahu kecil itu mudah goyang, jadi harus sangat berhati-hati untuk naik ke atasnya..

Lalu perjalanan dilanjutkan, sambil membawa 2 galon kosong.. mesin perahu tidak dinyalakan dan pak Udin hanya menggunakan dayung, katanya mau mengambil air minum dulu di belakang pos..

Suasana makin seram ketika melalui rawa ke sungai di belakang pos Kole.. banyak tumbuhan merambat dan suasana hening.. bisa jadi itu tempat persembunyian buaya..


Lalu pak Udin menghentikan perahunya di tengah-tengah sungai..


ternyata yang dimaksud dengan air minum adalah air sungai itu.. anak pak Udin turun ke sungai untuk mengisi galon dengan air.. memang airnya tampak bening, mungkin memang masih murni.. tapi tetap saja ada kandungan warna kuningnya..



Selesai mengambil air minum, perahu kembali dijalankan dengan dayung hingga ke Sungai Kole di depan pos Kole.. lalu mesin perahu pun dinyalakan.. perjalanan dilanjutkan..


karena belum pernah ke tempat seperti itu, aku banyak memotret dan tampak norak hingga anak pak Udin pun menggeleng-gelengkan kepalanya.. maklumlah aku kan anak kota, tidak akan bisa melihat pemandangan seperti itu setiap harinya..



Dalam perjalanan, tampak di bagian kanan adalah daerah-daerah yang sudah dirambah menjadi daerah tambang, sudah berubah menjadi gurun pasir semuanya.. sungguh menyedihkan.. berbeda sekali dengan di bagian kiri yang adalah kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, yang masih sangat asri.. benar-benar hutan rimba..



Selama naik perahu, air sungai selalu muncrat hingga membuat kacamataku tetap basah..  di kanan dan kiri sungai yang agak sempit, banyak tanaman bakung yang menebarkan wangi kemenyan.. di hutan taman nasional, terdengar banyak suara burung dan juga satwa lain.. kadang merinding juga dan bertanya-tanya itu suara apa.. Pepohononan di taman nasional itu tinggi-tinggi dan jenisnya juga berbeda dengan pohon yang biasa kulihat.. Sempat juga aku melihat burung kolibri yang terbang melompat dari tanaman bakung di kananku menyeberang ke tanaman bakung kiriku.. lucu dan anggun.. ^^

Setelah sekitar setengah jam, akhirnya kami pun tiba di Desa Aspai..


Ketika tiba, anak pak Udin membawakan tasku hingga ke kursi di depan pondoknya.. kondisi desa itu tak berbeda dengan Desa Banit, hanya saja lebih ramai dan lebih banyak pondoknya.. tapi tetap saja kondisinya menyedihkan..




Pondok pak Udin sama seperti pondok penambang lainnya, terbuat dari kayu dan bambu, tidak ada kamar, gelap.. sangat sangat sederhana.. 


Lalu aku disuguhi air dingin yang berwarna kuning, ternyata itu air dari sungai tadi langsung diminum tanpa dimasak.. sambil berbincang-bincang dengan keluarga dari anak-anak pak Udin, aku mencoba meminum air itu.. tawar memang, tapi aku tak yakin air itu bebas dari bakteri E-coli.. semoga saja sehabis minum aku tak sakit perut.. Mereka sempat kaget ketika kubilang aku berumur 24 tahun dan belum menikah.. ternyata untuk orang sana, wanita biasanya menikah di usia 13 tahun dan pria di usia 20 tahun.. alasan untuk menikah bukan karena sudah matang secara ekonomi, tetapi karena secara fisik sudah cukup besar.. -____-“ alasan yang tidak dapat diterima oleh orang kota sepertiku yang menganggap kematangan mental, pribadi, pendidikan dan juga ekonomi sebagai pertimbangan untuk berumah tangga..

Di desa itu tidak ada listrik, hanya ada di malam hari dari panel surya.. untuk kebutuhan sehari-harinya ada warung yang menjual mie dan kebutuhan rumah tangga, juga ada beberapa orang yang datang dari desa terdekat yang menjual es batu, sayur-sayuran dan juga pentol (bakso tanpa kuah yang diberi saos)..

Di awal mula aku tiba disitu, aku diajak anak pak Udin yang bernama Ati untuk berkeliling.. Dan kutahu ternyata tidak ada wc dan untuk buang air besar harus pergi ke hutan, sama sepeti kucing menggali dan menutup lubang.. OMG!!  Lebih baik aku tak mandi ataupun buang air besar selama berada di desa ini..

Ketika itu aku mengikuti Ati yang hendak ke hutan untuk buang air besar.. Suasana sekitar hanyalah berupa gundukan pasir.. 


kulihat ada yg mandi di kubangan yang cukup bersih dan luas yang hampir menyerupai danau biru indah.. namun tetap saja itu adalah kubangan, entah apa yang terkandung dalam airnya.. bisa jadi ada campuran air raksa (Merkuri – Hg) yang digunakan penambang untuk mencuci emas hasil tambang.. ngeri rasanya, aku sebisa mungkin tak melalui kubangan-kubangan air kecuali terpaksa..


Hari itu aku hanya mengamati situasi di daerah penambangan liar itu, belum memulai membagikan kuesioner dan rencananya besok pagi baru akan dimulai.. 



Sisa waktuku di hari itu kuhabiskan dengan duduk-duduk di kursi di depan pondok pak Udin.. di luar saja cukup banyak nyamuk, apalagi di dalam pondok.. kakiku gatal-gatal rasanya.. belum lagi kakiku juga penuh dengan pasir, berapa kali pun dibasuh dengan air tetap saja kotor karena pasir.. sepatu sandal gunungku tak tahu lagi bagaimana nasibnya, tadi terkena genangan air dan pasir sehingga akhirnya kumasukkan ke dalam tas sebelum rusak, dan aku lalu menggunakan sandal crocs yang lebih tahan air dan kotor..

Sorenya aku sempat ngobrol dengan pak Udin sambil menunjukkan kuesioner, tampaknya beliau kurang paham.. padahal bahasa yang kugunakan itu sangatlah sederhana.. lalu kemudian anak pak Udin yang berusia 20 tahun yang baru SMA mencoba membaca pertanyaan-pertanyaan di kuesioner itu.. katanya bahasanya mudah dimengerti.. syukurlah kalau masih ada yang bisa mengerti..

Hari mulai gelap.. anak pak Udin yang masih SD bermain kano yang terbuat dari kayu di sungai.. 


lalu tampaklah pelangi samar-samar di langit.. 


untuk makan malam Ati bilang mau mengadakan bakar-bakaran ayam.. dan ternyata ayam itu hanya ada 1 potong paha atas berukuran cukup besar.. 


bagi mereka, ayam adalah bahan makanan yang mahal, sehingga bisa dibilang makanan mewah.. makanan sehari-harinya hanyalah nasi dan mie dan sebutir telur.. itu pun dibagi beramai-ramai sekeluarga.. seperti itulah kehidupan keluarga para penambang liar.. benar-benar jauh di bawah standar layak..


Di desa ini sama sekali tidak ada fasilitas.. listrik hanya malam hari, dan untuk menonton TV, parabola nya ada di depan pondok dan harus diputar-putar terlebih dahulu untuk mendapatkan gambar yang bagus..ckckck

Malamnya di pondok, aku diajak ngobrol oleh anak-anak pak Udin yang cowok-cowok, bersama dengan pak Udin juga..agak susah juga mungkin karena perbedaan tingkat pendidikan, jadi sering tidak nyambung.. yang paling mendingan adalah anak pak Udin yang berusia 20 tahun yang SMA itu..Pak Udin berkali-kali ingin menjodohkanku dengan anaknya itu.. -___-“

Dan akhirnya aku tahu kalau selain berpendidikan rendah, bagi yang masih bersekolah pun pendidikannya terlambat.. usia belasan tahun baru SD, usia 20 tahun baru SMA.. sungguh terlambat, tidak sesuai dengan perkembangan mental dan biologis yang lebih cepat..

Karena di dalam pondok gelap yang menyebabkan mataku jadi tak sehat, aku lebih memilih duduk di depan pondok.. dan karena bosan bengong (yang bisa dilakukan di situ), maka aku menyalakan laptopku dan mengetik catatan perjalanan ini.. biarlah baterainya habis, yang penting bisa menghilangkan sedikit kebosananku..

Sebenarnya aku sudah mengantuk tapi malas tidur.. yang kurasakan bukanlah nyaman, tapi gatal-gatal sih iya.. belum lagi semua pria di desa ini sepertinya merokok, kecuali anak pak Udin yang berusia 20 tahun itu.. dan.. Bosaannn.. tidak bisa online.. sinyal hp timbul tenggelam.. susah smsan.. Ahhhhhh.. pertanyaanku “Dapatkah aku bertahan selama 3 hari di sini? Apa aku segera ke Pondok Ambung saja ya? Berharap di situ lebih baik :(“.. ya, kondisi di desa itu sangat buruk.. rasanya lebih sengsara daripada ketika di Pangkalan Bun dimana aku sudah cukup menderita karena tidak bisa online dan tidak ada makanan enak.. di sini lebih parah, aku hanya makan pop mie yang kubawa saja untuk makan siang tadi, dan mungkin hari-hari berikutnya juga akan seperti itu.. untunglah aku membawa persediaan cemilan dan minuman dalam botol.. dan pop mie, tapi tetap saja mie.. bisa kanker lama-lama.. tapi semakin sedikit makanku semakin baik karena akan mencegahku untuk ingin buang air besar.. karena jika sakit perut, tentunya akan lebih merepotkanku mengingat tidak ada wc,  jamban dan juga air bersih..

Hari semakin malam, aslinya aku tidak ingin tidur tapi sayangnya aku sudah tidak kuat lagi.. dan terpaksa akhirnya aku memutuskan untuk tidur.. satu ruangan dengan anak-anak pak Udin dan juga pak Udin, di situ tidak ada kamar.. aku menggunakan alas semacam matras yang biasa untuk camping, ada bantal juga yang diberikan oleh anaknya pak Udin.. dan aku pun tidur, menghadap pintu keluar dan di samping TV.. posisiku terlindung oleh tas ransel dan tas slempangku..

Aku sengaja tidak mencharge hpku karena kugunakan hpku untuk mendengarkan musik dengan headset.. aku malas jika harus mendengarkan suara aneh-aneh di malam hari yang nantinya justru membuatku tidak bisa tidur..

Udara malam hari sungguh dingin luar biasa.. karena tidak ada selimut akhirnya aku selimutan  dengan menggunakan jas hujan yang kubawa, cukup hangat juga.. samar-samar beberapa saat kemudian aku mendengar anak pak Udin berkata “pake jas hujan”.. biarlah, yang penting aku tak kedinginan lagi.. aku juga sudah memakai jaket dan kaos kaki agar tidak digigit nyamuk dan lebih hangat.. dan tak disangka aku bisa terlelap hingga pagi tiba..

No comments:

Post a Comment