Eight Below

Eight Below

The Real World Adventurer..

"In this life, only the fool who always start the questions of life, moreover start their life mission and purpose of money. And once beginner ask where they get money, then they will be shackled by the constraints/obstacles. And almost certainly the answer is simply no money, can not and will not be" (Rhenald Kasali - Professor of University of Indonesia)

Friday, February 5, 2010

KUNJUNGAN KE VIHARA EKAYANA – MENGINTIP SELUK BELUK BUDDHISME DI INDONESIA





















Jumat, 05-02-2010 14:15:03

oleh: Gracia Emerentiana

Kanal: Gaya Hidup

www.wikimu.com


Pada hari Sabtu, tanggal 9 Mei 2009 bertepatan dengan Hari Raya Trisuci Waisak, saya berkunjung ke Vihara Ekayana –Greenville, sekaligus berniat mengikuti jalannya kebaktian Waisak (sambil meliput dan observasi).

Saya tiba di Vihara tersebut sekitar pukul 8, parkiran sudah penuh, jalan pun penuh dengan mobil. Lokasi parkir motor saya cukup jauh dari Vihara. Dari parkiran saya berjalan kaki ke Vihara, sesampainya disana ternyata di dalam Vihara sudah sangat dipenuhi umat, saya sampai antri panjang seperti kereta hanya untuk masuk ke dalam Vihara.

Di pintu masuk Vihara, oleh panitia Waisak dibagikan permen, buku puja bhakti (untuk kebaktian) dan kantong kresek hitam untuk membungkus alas kaki, karena di dalam Vihara tidak diperbolehkan menggunakan alas kaki. Saya bersama ketiga orang teman saya berjalan masuk ke dalam Vihara mengikuti rute yang dibuat dengan tali, hingga ke halaman belakang Vihara karena di bagian depan sudah penuh sesak, begitu pula dengan halaman belakang yang juga sudah sangat padat.

Kami berempat berdiri menunggu upacara dimulai. Cuaca sangat panas dan saya terkena sinar matahari langsung karena berdiri di pojok tenda hingga berkeringat. Kami berempat sampai-sampai menggunakan buku kebaktian sebagai kipas, dan sesaat setelah itu ada pengumuman bahwa umat dimohon untuk tidak menggunakan buku puja bhakti sebagai kipas, kami langsung tersenyum dan berusaha mendinginkan diri dengan cara lain.

Sambil menunggu, saya meliput kondisi di sekeliling saya sambil mengamat-amati, saya melihat bahwa umat Buddha 90% terdiri dari orang Tionghoa, dan saat itu mereka membawa amplop-amplop merah (angpao) dan ada pula yang membawa kardus-kardus berisikan makanan, minuman, odol, dan lain sebagainya. Panitia Waisak seluruhnya adalah anak muda.

Beberapa saat kemudian, berlangsunglah acara pindah pata, yang kata teman saya merupakan acara persembahan kepada para Banthe, dan saya mendengarkan dari pengumuman bahwa pindah pata merupakan kesempatan bagi umat Buddha untuk berbuat kebajikan. Pada acara tersebut, sebanyak 20 orang Banthe (biksu dan biksuni) berjalan beriringan membawa semacam mangkok besi berwarna emas, diikuti oleh panitia di samping setiap biksu yang membawa karung. Ternyata umat memasukkan persembahannya itu ke dalam mangkok emas tersebut, lalu dari mangkok emas tersebut dituang ke dalam karung-karung yang dibawa oleh panitia. Setiap Banthe diikuti oleh satu orang panitia yang berjalan di sampingnya dan membawa sebuah karung beras berwarna putih. Para Banthe yang berjalan dalam iringan tersebut berurut dari yang jabatannya paling tinggi hingga yang paling rendah, dan yang berada di barisan paling belakang adalah para bikkhuni, Banthe-banthe tersebut menggunakan pakaian yang berbeda-beda warnanya. Yang berwarna kuning maupun coklat biasanya berasal dari aliran Theravada dan Mahayana, ada pula yang berwarna merah yang berasal dari aliran Tantrayana (dari Tibet).

Selama menunggu acara dimulai hingga pindah pata berakhir, terdengar iringan lagu ciri khas Buddha, seperti yang di film-film tentang biksu-biksu shaolin. Namun, nyanyian selama kebaktian lebih mirip dengan lagu anak-anak maupun pop, lagu tersebut dinyanyikan oleh kelompok paduan suara yang terdiri dari anak-anak dan muda-mudi yang menggunakan seragam warna merah, mereka menyanyi di atas sebuah panggung yang terletak di depan gedung utama dengan diiringi permainan keyboard.

Mengikuti kebaktian di tenda banyak hambatannya, mulai dari panas kena sinar matahari, berkeringat karena tidak kena angin dari kipas angin, hingga TV dan speaker yang suka rusak (sering terjadi kesalahan teknis – mungkin karena kurangnya persiapan panitia).

Dalam kebaktian dikenal yang dinamakan sikap namaskara, yaitu cara penghormatan dengan bersujud, dimana dahi, kedua lengan, dan kedua lutut menyentuh lantai (sambil berlutut). Selama namaskara, dibunyikan lonceng sebanyak 3 kali kalau saya tidak salah ingat. Begitu pula pada saat acara persembahan, dilakukan namaskara baik oleh umat maupun oleh petugas persembahan. Persembahannya yaitu berupa air, buah, bunga, dan ada lagi yang lain (saya lupa). Selama persembahan, juga dibunyikan lonceng tiga ketukan. Dan setahu saya suara lonceng tersebut berasal dari semacam mangkok yang dipukul sehingga menghasilkan bunyi dentingan. Selain namaskara juga dikenal sikap anjali (merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada atau lebih tinggi seperti sikap doa), yang paling sering dilakukan. Dalam kebaktian ternyata ada pula momen ketika biksu berkotbah (seperti dalam agama Katolik ada Homili), yang dibicarakan mirip seperti dalam Homili (tidak berbelit-belit dan tentang ajaran Buddha). Selain itu, ada pula momen pemberkatan air dan pemercikan air kepada umat oleh para biksu (seperti pemercikan air dalam agama Katolik pada hari Minggu Palma maupun Sabtu Suci), namun bedanya yaitu air sucinya telah dicampur dengan bunga. Selama para biksu berkeliling untuk memerciki umat dengan air, umat berlutut sambil bersikap anjali. Disini saya merasakan sakitnya berlutut, dan ternyata yang tidak tahan berlutut bukan hanya saya (yang bukan beragama Buddha), namun teman-teman saya yang beragama Buddha ternyata juga tidak tahan.

Kebaktian umat Buddha berlangsung dengan sangat khusyuk. Doa dalam agama Buddha ternyata terdiri dari tiga bahasa, yaitu Pali (untuk aliran Theravada), Sansekerta (untuk aliran dari Tibet - Tantrayana), dan Koi (untuk aliran Mahayana). Doa tersebut diucapkan dengan suatu nada yang telah ditentukan (ada aturannya, ada yang pengucapannya panjang dan pendek) secara kompak oleh seluruh umat. Kebaktian hampir selesai, hanya tinggal menunggu jam puncak Waisak, yaitu pukul 11.10. Sementara menunggu, kami menyambut kehadiran Fauzi Bowo.

Fauzi Bowo datang bersama dengan rombongannya, yang salah satunya merupakan camat Tanjung Duren. Saat tersebut merupakan kedua kalinya saya bertemu dengan Fauzi Bowo. Ternyata Fauzi selalu datang ke Vihara Ekayana setiap tahunnya ketika hari raya Waisak, kecuali tahun lalu karena ada halangan sehingga Ia tidak dapat hadir. Dan ternyata Vihara Ekayana merupakan Vihara terbesar dan terbanyak umatnya seJakarta Barat, dan umat yang hadir pada saat Waisak tersebut mencapai 7000 orang, diketahui dari semua ruangan hingga halaman depan dan belakang yang ada di Vihara Ekayana penuh sesak oleh umat. Setelah kata sambutan dari panitia Waisak, kemudian dilanjutkan dengan pidato fauzi bowo soal pemilu, kemiskinan dan permasalahan yang ada di masyarakat di Indonesia, peran umat Buddha di masyarakat yang banyak berkarya membantu masyarakat yang berkekurangan seperti melalui bakti sosial dan donor darah, dll. Pidato selesai, dilanjutkan pemberian kenang-kenangan. Untuk Fauzi Bowo: lilin, sebagai lambang cahaya untuk menerangi dunia, diharapkan Fauzi dapat menjadi pelita bagi masyarakatnya. Kemudian untuk Kecamatan: tea pot naga- lambang kekuatan, 1 orang lagi: genta / lonceng – lambang apa gitu, saya lupa.

Setelah penyerahan kenang-kenangan kepada Fauzi Bowo, dilanjutkan dengan meditasi sambil menunggu jam puncak. Dalam agama Buddha, meditasi merupakan suatu kebiasaan dan keharusan, selama kebaktian umat melakukan meditasi sebanyak dua kali dan setiap meditasi berlangsung selama kurang lebih setengah jam.

Beberapa saat setelah jam puncak Waisak berlalu, terjadilah hujan yang sangat deras. Padahal, kebaktian belum selesai. Kami yang mengikuti kebaktian di halaman belakang tidak dapat melanjutkan karena selain TV yang digunakan untuk menyiarkan jalannya kebaktian mati karena terkena air hujan, begitu pula dengan speaker. Kejadian ini sangatlah tidak diduga akan separah itu karena sebelumnya hanya mendung dan gerimis saja. Namun terjadilah hal-hal tak diperkirakan sebelumnya, Pertama, air hujan bercampur angin sehingga nampes (mengenai kami yang duduk di tenda). Kemudian tenda bocor karena tenda tersebut bukan tenda untuk hujan, hanya tenda untuk panas. Hujan semakin deras, air yang membasahi lantai pun naik. Berikutnya terjadi aksi gulung tikar akibat banjir, namun semua umatnya saling membantu. Selain itu, semua umat akhirnya menyingsingkan lengan celana, agar tidak terkena banjir, dan banyak umat belum menggunakan alas kakinya. Umat hanya bisa berdiri diam menunggu hingga kebaktian di dalam Vihara selesai dan hujan mereda.

Selama kebaktian, banyak umat yang pulang terlebih dahulu sebelum kebaktian selesai (sebelum hujan terjadi). Ketika kebaktian berakhir, panitia membagikan makanan vegetarian kepada semua umat. Menu makanan tersebut berbeda-beda, ada yang menggunakan sayur brokoli, jamur shitake, gorengan isi wortel, ikan-ikanan dari tepung, dsb. Yang terpenting dalam penyajian makanan untuk umat yaitu aturan penataan makanannya, saya kurang mengerti mengenai urutan penataannya, namun terlihat rapi di dalam kotak makanannya. Kotak makanannya terbuat dari bahan yang ramah lingkungan, semacam karton (terlihat dari label safety environmentnya). Umat menikmati makanan tersebut biarpun makan sambil berdiri namun dinikmati bersama-sama dengan keluarga maupun teman-teman mereka (merasakan indahnya makan bersama) dengan membentuk lingkaran-lingkaran. Sehabis makan, di dekat kami ada panitia yang sudah menyediakan kantong-kantong sampah. Cara membuang sampah makanan yaitu dengan dipilah-pilah, dibedakan antara sendok, sampah organik (sisa makanannya) dan kotak makanannya.

Setelah selesai makan dan hujan mulai reda, saya ditemani oleh teman saya Arifin masuk ke dalam gedung utama Vihara, dan berkeliling-keliling, serta hingga sampai ke lantai paling atas di bawah kamar-kamar biksu. Kami berkeliling selain ingin tahu, juga mencari biksu yang bisa diinterview. Biarpun penuh sesak dan jalan pun sulit, namun saya senang berkeliling-keliling di sana karena banyak objek yang menarik, seperti patung-patung Buddha yang berkilauan seperti terbuat dari emas, foto-foto biksu (banyak yang menggunakan efek fotografi), foto biksu pertama di Indonesia (biksu tetua), semacam mangkok bertutup yang digunakan biksu untuk diketok ketika sembahyang, cawan tempat air suci dan bunga-bunga, dsb.

Ketika baru turun dari lantai atas, di lantai paling bawah saya bertemu dengan mantan Dekan saya (Dekan FALTL Universitas Trisakti), Prof. Soepangat, yang setahu saya beragama Hindu, namun tampaknya Beliau akan menemui Banthe karena Beliau diantar oleh banyak orang. Beliau merupakan orang yang sangat dihormati karena selain baik dan ramah, juga terkenal jenius dan telah menghasilkan banyak penemuan.

Berkeliling-keliling Vihara hingga Vihara semakin sepi dari umat, tampaknya semua biksu sedang sibuk dan akan tetap sibuk hingga sore, saya hampir menyerah. Akhirnya saya memutuskan menginterview Arifin terlebih dahulu. Kami berbincang-bincang di dalam Vihara hingga kemudian kami melihat seorang Banthe yang sedang nganggur dan sendirian, kemudian Arifin mendatangi Banthe tersebut dan meminta ijin agar saya bisa menginterview Banthe itu, dan langsung diijinkan, kemudian saya langsung memulai aksi sebagai reporter, menginterview Banthe tersebut.

Suasana interview tersebut berlangsung dengan sangat lancar, lebih seperti sedang berbincang-bincang dengan kawan. Banthe tersebut bercerita panjang seperti layaknya bercerita kepada seorang teman (panjang lebar, sangat jelas dan detail, padahal pertanyaan saya singkat-singkat saja, namun jadi semacam acara curhat..hoho), orangnya ramah. Kami berbincang-bincang di depan AC yang mengeluarkan udara dengan embun yang mengepul seperti udara di musim salju (terlihat warna putihnya), dan di dekat kami ada dupa yang dipasang, akhirnya karena tidak tahan perih mata saya menjadi berair (seperti menangis) dan saya mengelap mata berkali-kali. Selama kami berbincang-bincang, banyak umat yang memberikan salam dan ucapan selamat hari raya Waisak kepada Banthe. Umat Buddha memberi salam dengan menggunakan sikap anjali. Setelah selesai interview, Banthe baru ingat kalau Beliau mau pergi dan ada keperluan lain. Dan setelah saya selesai menginterview, saya baru tahu dari teman saya kalau Banthe yang saya interview adalah kepala biksu, dan saya baru ingat kalau itu adalah Banthe yang berada di baris paling depan ketika pindah pata.

Yang menjadi ciri khas dari umat Buddha adalah selalu menyalakan dupa di ruangan manapun mereka berada, dan bau dupa yang kuat menyebar hingga ke luar ruangan (di tenda halaman belakang pun tercium bau dupa). Observasi ini berjalan dengan lancar, kendalanya hanya sedikit dan saya juga nyaman-nyaman saja dengan suasananya (mungkin karena sebagian besar orang chinese seperti saya)... Pengalaman observasi di Vihara Ekayana ini merupakan pengalaman yang sangat menarik dan hasilnya juga cukup memuaskan dan membuat cukup lega.. hoh..

No comments:

Post a Comment