Eight Below

Eight Below

The Real World Adventurer..

"In this life, only the fool who always start the questions of life, moreover start their life mission and purpose of money. And once beginner ask where they get money, then they will be shackled by the constraints/obstacles. And almost certainly the answer is simply no money, can not and will not be" (Rhenald Kasali - Professor of University of Indonesia)

Friday, February 5, 2010

HASIL INTERVIEW DENGAN BANTHE


9 Mei 2009

Interview with:

Dharma Wimala

Banthe Vihara Ekayana

Ekayana Buddhist Centre

Tanjung Duren – Greenville

Jakarta Barat


Berdasarkan interview yang saya laksanakan pada hari Sabtu, 9 Mei 2009 bertepatan dengan Hari Raya Trisuci Waisak di Vihara Ekayana, Tanjung Duren - Greenville, berikut ini merupakan informasi yang saya peroleh mengenai Buddhisme:

Berkaitan dengan kasus ’Buddha Bar’ yang saat ini masih marak dibicarakan, menurutnya hal tersebut tidaklah patut karena nama Buddha disandingkan dengan Bar yang sangat kontroversial. Kasus tersebut oleh umat Buddha dibawa ke hukum, dan penekanannya yaitu melalui demo sebagai bentuk perjuangannya. Demo lebih efektif dan lebih diperhatikan. Dalam UU Indonesia ada sebuah pasal dimana di dalamnya disebutkan bahwa nama agama tidak boleh digunakan untuk merek dagang. Dengan adanya demo yang dilakukan oleh umat Buddha, pemerintah akhirnya menyadari adanya kekeliruan. Tujuan dari demo tersebut adalah untuk meluruskan kekeliruan, agar pihak yang menyimpang menyadari dan agar jangan mengulang kesalahan yang sama. Dalam menghadapi kasus ini tidak perlu terlalu emosi. Pada akhirnya setelah disadari adanya kekeliruan, pemerintah mencabut ijin pendirian Buddha Bar, saat ini plang Buddha Bar telah diturunkan dan akan diganti namanya.

Ketika ditanya mengenai ‘Mengapa umat Buddha tidak mau open/memunculkan diri ke masyarakat, terutama dalam bidang politik?,” menurut Banthe, hal tersebut merupakan kecenderungan umat Buddha di dunia. Di Indonesia pada jaman orde baru, agama Buddha dikaitkan dengan etnis Tionghoa, sehingga menyebabkan adanya suatu ketakutan. Setelah reformasi, umat Buddha baru mulai memunculkan diri. Jika dibandingkan dengan agama lain, umat Buddha memang lebih menutup diri untuk mengambil peran di masyarakat (terutama dalam hal politik), kurang berpikir kontekstual. Padahal Buddha sendiri ikut politik. Sebagian besar umat Buddha memiliki kecenderungan spritual yang sempit (hanya terbatas pada pengembangan spiritual diri sendiri/individu), namun saat ini kesadaran mulai tumbuh, apalagi di Barat. Namun umat Buddha yang mengambil peran di masyarakat tidak membawa nama agama. Ada sebuah buku, karangan seseorang dari Vietnam, mengatakan bahwa umat Buddha sebenarnya tidak pasif, namun jumlah yang tidak pasif tersebut hanya sedikit (minoritas). Umat Buddha yang berbuat sosial ya sosial, tidak dikaitkan dengan agama. Kegiatan sosial tersebut merupakan suatu aktivitas sebagai bentuk dari agama, sebagai praktik spiritual. Namun dalam kehidupan umat Buddha sendiri, memang budaya konservatif lebih kental. Yang tidak konservatif hanya kadang-kadang/jarang-jarang.

Mengenai sektenisasi yang sedang marak, termasuk dalam agama Buddha yang terbagi menjadi beberapa sekte (sekitar 18 sekte) dan sekte-sekte itu terbagi lagi menjadi sub-sub sekte, Banthe mengatakan bahwa tidak ada masalah mengenai hal tersebut. Agama Buddha merupakan satu kesatuan. Secara filosofis, agama Buddha hanya terbagi menjadi dua sekte besar, yaitu Theravada dan Mahayana, ditambah dengan sekte dari Tibet, yaitu Tantrayana. Sekte merupakan suatu penerapan atas metode yang dirasa cocok oleh suatu kelompok ataupun orang tertentu yang pada akhirnya berkembang menjadi satu tradisi, kemudian masuk ke suatu negara. Jadi sekte itu merupakan bentuk penerapan terhadap budaya suatu negara. Buddha masuk ke India menjadi Buddha India, masuk ke Tiongkok menjadi Buddha Tiongkok, begitu pula dengan yang masuk ke negara-negara lainnya, ada bungkus budayanya. Sebenarnya ada dua hal yang mendasari, yang pertama yaitu budaya, dimana orang-orangnya lebih mudah belajar. Yang kedua, yang penting essensial dan kontekstual. Di Indonesia, hal kedua yang paling banyak digunakan, menggunakan kekayaan semua tradisi / budaya Indonesia, yang kontemporer dan lebih sesuai dengan kebutuhan serta ada penyesuaian. Yang menjadi masalah sebenarnya hanyalah metode dan budayanya bisa banyak. Dalam Puja Bhakti Waisak hari ini terlihat bahwa tidak membedakan sekte-sekte dalam agama Buddha, semua sekte berdoa bersama-sama, dan dari tata cara kebaktiannya disesuaikan menggunakan tata cara yang digunakan oleh semua sekte tersebut (ada bahasa pali, sanserketa, dan koi), begitu pula dengan biksunya yang berasal dari sekte-sekte yang berbeda (20 banthe dengan pakaian berwarna berbeda-beda sesuai dengan sekte mereka), namun satu.

Melihat glamournya dunia, Banthe memandangnya sebagai masalah. Lawan kita bukan agama lain, melainkan derasnya materialisme, hedonisme dan konsumerisme yang bisa membuat ego, keserakahan dan kebencian menyebar, salah satu bentuknya yaitu Buddha Bar. Untuk menghadapi hal tersebut tidaklah cukup hanya menggunakan jalur ritual dan intelektual, tetapi juga menggunakan jalur praktek baru bisa muncul kesadaran, sehingga bisa membedakan (tahu) mana yang baik dan tidak baik.

Terpikir mengenai Yayasan Buddha Tsu Chi yang menggunakan nama Buddha sebagai landasannya, Banthe bercerita bahwa aktivitas Tsu Chi awalnya bergerak dalam bidang kesehatan, namun pada akhirnya bertambah / berkembang menjadi lebih terbuka. Pada tahun 60an banyak terbentuk gerakan Buddhism di Vietnam, salah satunya yaitu Tsu Chi. Murid dari yang melakukan pergerakan itulah yang menulis buku mengenai Buddha di Vietnam. Dulu sifatnya lebih individu, namun sekarang budaya N-gadges, cirinya universal. Dengan amal, bertujuan untuk menyelesaikan persoalan kemanusiaan. Agama Buddha sebagai landasan. Tsu Chi sendiri sebenarnya merupakan ekspresi praktek dari guru-guru Buddhist yang mempraktekan ajaran agama Buddha dengan lebih terbuka, yaitu kemanusiaan universal, beda dengan Buddhism yang pada umumnya tertutup seperti pembiaraan dari Thailand. Aktivitas ini sebenarnya lebih ditujukan untuk anak muda di Asia., biasanya disupport oleh organisasi-organisasi Katolik (sering memberi dukungan). Umat Buddhist yang mulai berperan di masyarakat jumlahnya memang masih sedikit, namun terus berkembang dan nantinya akan memberikan pengaruh yang lebih besar. Tetapi dari pihak Buddhist sendiri mengajukan pertanyaan untuk Tsu Chi yang banyak menolong orang-orang dari berbagai agama, ’Bagaimana mengenai bantuan bagi umat Buddha sendiri? Umat Buddha pun banyak yang membutuhkan pertolongan/bantuan’, Tsu Chi lebih banyak memberikan bantuan untuk orang-orang yang beragama lain.

Menjawab pertanyaan mengenai relasi dengan agama lainnya, Banthe mengatakan bahwa umat Buddha tidak suka macam-macam, sehingga dari pihak Buddhist tidak membuat aksi-aksi, tetap adem ayem.

Mengenai Biksu yang tidak boleh makan lewat dari jam 12 siang dan tidak boleh bersentuhan dengan wanita, bukanlah harga mati. Makan terdiri dari dua kelompok, yaitu boleh makan lewat dari jam 12 siang namun dalam jumlah sedikit, ada pula yang tidak makan sama sekali. Pola makan tersebut (tidak boleh makan lewat dari jam 12 siang) merupakan bentuk olah spritual dan meditasi, dan sebenarnya melihat bahwa makan malam tidak begitu penting/perlu. Jika makan malam kebanyakan akan meningkatkan jumlah energi, yang akan meningkatkan nafsu seksual. Dengan demikian, lebih dianjurkan makan hanya pada pagi hari sekitar jam 8 atau 9, namun dalam porsi besar dan cara mengunyah yang benar, sehingga makanan dapat diserap usus dengan baik. Makan malam tidak terlalu dibutuhkan, tidak ekstrim, kecuali di tempat dingin, namun makanannya vegetarian. Larangan bersentuhan dengan wanita yaitu jika dengan birahi. Jika tidak, boleh-boleh saja, seperti berjabat tangan. Menyentuh diperbolehkan, namun tidak menyentuh lebih aman, terutama bagi yang masih muda, ada yang suka membuta.

Demikian hasil interview saya dengan Banthe, sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin saya tanyakan kepada Banthe, namun saya merasa tidak enak karena mengganggu waktu senggang Banthe (waktu itu Banthe sedang menunggu dijemput untuk pergi ke tempat lain, sementara saya meminta kesempatan untuk interview dengannya).. Takut mengganggu jadwalnya jika saya mengulur waktu lagi untuk interview.. Namun saya rasa hasil yang saya dapatkan dari interview tersebut sudah cukup lengkap.

No comments:

Post a Comment